Sastra dan Agama Kemanusiaan
Sebetulnya, filosof sosial telah banyak membahas bahwa agama sering mempunyai efek negatif
Sastrawan yang mencoba menggugat formalitas agama mudah dituduh sebagai orang kafir dan sastra sesat. The Satanic Verses karya Salman Rhusdie menghebohkan dunia. Salman Rhusdie mungkin sekedar mewanti bahwa agama sudah dijadikan kontainer yang berisikan kebencian satu dengan yang lainnya.
Di Indonesia muncul Clara Ng, "Tujuh Musim Setahun," Ani Sekarningsih, "Memburu Kalacakra" menjadikan karya sastra sebagai media kritik terhadap kehidupan agama yang eksklusif.
Padahal, bersastra merupakan suatu usaha untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran dan kebajikan hakiki. Kebenaran dan kebajikan ini bersifat universal, bukan monopoli agama tertentu. Karena itu, menurut saya, sastrawan harus memeluk agama kemanusiaan.
Agama kemanusiaan itu menghindari sekat-sekat agama yang terkadang lebih mengutamakan instansi daripada esensinya. Karya besar muncul cemerlang ketika ia menyodorkan tema kemanusiaan bukan tema agama. Mahabarata dan Ramayana milik agama Hindu dan berkisah tentang bangsa India. Akan tetapi, karya-karya ini lebih banyak berkisah tentang manusia.
Kedua epos tersebut menghadirkan kebajikan manusia secara universal, kapan saja dan di mana saja. Demikian karya Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi menyodorkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan tanpa ditetes cawan agama tertentu. Ia hanya mengatakan bahwa ada kekuatan amat dahsyat di luar manusia dimana kita hanya patut pasrahkan diri secara total kepada: Kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap." Ia misterium, mempesona dan "sabar, setia, selalu. Ucap Amir Hamzah.
Hemat saya, sastrawan yang besar adalah sastra yang memilih sebagai buruh kasar yang mengangkat batu bata membangun masjid atau gereja daripada menjadi pastor atau Uztat yang berkotbah di Minggu pagi atau berstausyiah di Jumat siang, lalu umat yang berjejalan menerima diri sebagai sosok yang terluka oleh dosa, melulu bersalah, dan tak kuasa hidup di dunia ini.
Tentu terlalu naif jika dikatakan, sastrawan yang baik adalah sastrawan yang murtat dari agamanya dan menganut agama kemanusiaan. Agama harus menjadi oase kreativitas sastra yang menempatkan pesan-pesan etik yang diterima oleh semua golongan. Paul Sartre mungkin salah seorang yang sudah lama menganut agama kemanusiaan. Sartre berasal dari keluarga Kristen Protestan, kemudian ia dibaptis menjadi Katolik.
Namun, dalam pengembaraan pemikirannya, Sartre justru tidak menganut agama apapun. Ia seorang atheis totok. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sajak Isa, karya Chairil Anwar tidak diterima begitu saja sebagai
klaim kekristenan, tetapi Isa dalam penerimaan universal. Isa adalah metafora yang mengikhtiarkan pengorbanan: "Itu tubuh mengucur darah."Musikalisasi puisi Padang Bulan Emha Ainun Nadjib adalah orkestra perjuangan manusia yang menggeliat dan kecapaian di tengah pergulatan hari-hari berdebuh, arogan dan miskin rendah diri. Karya sastra lintas batas keagamaan.
Keterlibatan iman pengarang sebagai lilin universal yang menerangi semua sudut dan menembus seluruh sekat. Itulah agama kemanusiaan.*