Asal Sarjana

Kedua, sertifikasi perlu diberikan untuk guru yang memiliki kualitas menonjol. Ide kreatif perlu diberi ruang bagi para guru untuk ditampilkan. Pada setiap kecamatan atau kabupaten misalnya perlu diadakan lomba guru yang berusaha menampilkan kreativitas beragam darinya layak mendapatkan penghargaan.

Kriteria penilaian mestinya melibatkan tidak saja lingkup sekolah, tetapi juga masyarakat mengingat kompetensi kepribadian dan sosial cukup banyak diketahui dan dinilai oleh masyarakat. Hal itu akan mencakup perilaku guru dan keterlibatannya dalam hidup sosial. Aspek seperti ini harus diakui jarang disentuh. Penilaian selama ini lebih mengarah kepada 'portofolio'. Guru sibuk 'ke kota' dan meninggalkan kelas tanpa memerhatikan pembelajaran.

Ketiga, sertifikasi juga bisa diarahkan kepada upaya peningkatan kualitas profesional. Seorang guru tamtan SPG mestinya dihargai kalau sukses menempuh diploma 2 bidang yang selama ini ia ajarkan. Atau guru SMP/SMA yang hanya Diploma 2, mestinya bisa mengikuti proses sertifikasi kalau ia bisa sampai kepada satu jenjang lebih tinggi dari sebelumnya. Guru D2 (yang dulunya D1) atau D3 (yang sebelumnya D2), atau D4 (yang sebelumnya D3) mesti diikutkan dalam sertifikasi karena ia telah meningkatkan profesionalitas dalam bidangnya.

Hal ini yang mesti didukung karena ada usaha peningkatan profesionalisme. Ia malah lebih dihargai karena berusaha memperdalam apa yang selama ini diajarkan. Sebaliknya mengumandangkan 'sekedar sarjana' justru akan membuat ketidaksinambungan.

Pola pikir seperti ini akan lebih produktif. Perlahan kualitas pendidkan akan diperhatikan dari bawah dan secara gradual akan mencapai perubahan signifikan. Jelasnya, yang terjadi bukan 'asal sarjana' tetapi kembali ke asal sarjana itu sendiri.*