Asal Sarjana

Hanya apakah kesarjanaan yang diperoleh memenuhi target kualitas? Mustahil bertanya demikian.

Editor: Dion DB Putra
Net
Ilustrasi 

Oleh Robert Bala
Alumnus Universitas Pontificia de Salamanca Spanyol; Guru pada Sekolah Tunas Indonesia Jakarta

POS KUPANG.COM - Di sebuah ibu kota kabupaten di Flores, terjadi wisuda sarjana (Agama). Seratusan guru melewati momen luar biasa dengan mengenakan toga wisuda. Ada rasa bangga. Di tengah kekurangan tenaga pendidik, terobosan perguruan tinggi swasta itu cukup memberi imbas positif.

Hanya apakah kesarjanaan yang diperoleh memenuhi target kualitas? Mustahil bertanya demikian. Target 'sekedar sarjana' tanpa wawasan pendidikan yang memadai, hanya akan menjadi beban tambahan.

Asal Sarjana
Gaung sertifikasi yang memberi prioritas kepada para sarjana telah memunculkan 'semangat kuliah'. Yang mengherankan, tidak terlalu diperhatikan linearitas dalam peningkatan kesarjanaan. Artinya, guru yang memiliki diploma pada bidang tertentu mestinya diharuskan memperdalam ilmu itu.

Yang terjadi justru lain. Seorang guru matematika misalnya karena 'terdesak' harus jadi sarjana, ia pun mengambil Sarjana Agama. Target pemerintah memang tercapai. Ia kini sudah sarjana. Tetapi apa yang terjadi ketika semua guru itu 'sarjana agama'? Apakah sebuah sekolah sudah merasa puas ketika semua gurunya 'sarjana agama'?

Yang disesalkan, tentunya hal ini tidak secara sistematis diawasi pemerintah. Animo guru untuk 'kuliah' menjadi sarjana tidak dianalisis. Pada saat berrsamaan, perguruan tinggi swasta sekedar menangkap 'peluang bisnis menggiurkan'. Jumlah mahasiswa yang begitu banyak lebih dilihat sebagai 'keuntungan' tanpa peduli apakah hal itu efektif atau tidak.

Pada sisi lain, program 'asal sarjana' sekaligus menertawakan program pemerintah yang terlampau 'mengagungkan' para sarjana. Padahal sarjana yang berasal dari kata 'sajjana', yang artinya berwatak baik, arif dan terhormat, mestinya mengarah kepada kualitas diri. Ia sama sekali tidak ada kaitan dengan julukan eksternal sekedar memenuhi kriteria akademik di universitas, tetapi jauh dari kualitas diri yang diharapkan.

Tak disadari, asumsi seperti itu telah meniadakan kualitas sebagai hal terutama. Padahal, selama periode lalu, tanpa menyangkali kekurangan yang bisa terjadi, para guru tamatan SPG atau diploma tidak kalah kualitasnya. Malah dalam arti tertentu, ketika dibandingkan dengan para sarjana, ternyata kualitas mereka tidak kurang, bahkan lebih dari itu.

Sayangnya hal itu tidak menjadi bagian penting penilaian. Para 'pejabat' lebih suka disanjung oleh 'berlimpahruahnya' tamatan 'sarjana' ketimbang kualitas. Mereka lupa asal-muasal 'sajjana' yang mengarah kepada kualitas dan jauh dari sajian bibir tanpa ada hunjuk kualitas yang semestinya ada.

Kembali ke Asal
Ketimpangan dalam pendidikan mestinya mendorong kita untuk kembali kepada akar pendidikan itu sendiri. Ia bergerak dengan masa depan karena itu ia tidak bisa sekedar 'lip service' yang mengagungkan orang dari ijazah tetapi tidak mendalami kualitas diri.

Juan María Segura dalam artikelnya El problema de la educación (Harian Gaceta 4/1/2015), menekankan bahwa permasalahan pendidikan berada pada level mikro. Sayangnya, yang ditawarkan lebih merupakan pendekatan makro.

Realitas pendidikan di lapangan misalnya jarang menjadi pijakan analisis. Pemerintah lebih 'doyan' menerapkan pendekatan deduktif yang bertolak dari beberapa asumsi dan teori pendidikan untuk kemudian diterapkan di semua wilayah sebagai sebuah 'dogma pendidikan'.

Tentu saja paham itu akan terasa indah. Ada sebuah usaha 'menyeragamkan' pola pendidikan. Di atas kertas, terlihat adanya kemajuan. Fakta tentang jumlah sarjana yang meningkat misalnya menjadi sebuah data menghibur. Ia menempatkan Indonesia pada level negara dengan guru berpendidikan tinggi.
Sayangnya, realitas itu tidak pernah teruji secara induktif. Di sana fakta di lapangan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Pada sisi lain, para tokoh setempat dilibatkan karena mereka mengetahui dan merasakan apa yagn terjadi.

Kesadaran akan ketimpangan itu mesti diikuti dengan beberapa tindak lanjut. Pertama, perlunya pelatihan guru. Yang menjdikan seseorang guru adalah 'pengalaman' hal mana dikatakan "pengalaman adalah guru terbaik". Itu berarti pengalaman mengajar perlu menjadi titik berangkat darinya dapat direncanakan berbagai program pelatihan untuk mengeolah kembali pengalaman mengajar guru.

Proses ini nyaris tidak disentuh. Pemerintah lebih 'giat' menghadirkan LPTK untuk mendidik guru menjadi 'sarjana' tetapi tidak mengarah kepada pelatihan yang profesional. Akibatnya di lapangan begitu banyak sarjana, tetapi tidak diimbangi kualitas dan tidak sesuai tuntutan mata pelajaran. Sementara itu guru yang 'hanya tamatan SPG dan Diploma' dibiarkan berjuang sendiri dengan ancaman tidak akan diberikan lagi jam mengajar.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved