Pemuda Nagekeo Ketagihan Etu, Ceceran Darah Menyucikan Kampung
Keramaian menyelimuti Focolodorawe, kampung yang berjarak sekitar 15 km dari Boawae, Kabupaten Nagekeo, Sabtu (12/5/2018).
Penulis: Gordi Donofan | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | MABY -- Keramaian menyelimuti Focolodorawe, kampung yang berjarak sekitar 15 km dari Boawae, Kabupaten Nagekeo, Sabtu (12/5/2018). Tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan memadati lapangan. Suara riuh membahana.
Mereka memberi semangat kepada para pemuda yang sedang bertarung di tengah arena. Para penonton bukan hanya warga kampung itu, tetapi datang dari desa-desa tetangga. Mereka menyaksikan etu, tinju adat setempat yang berlangsung setahun sekali. Para petarung adalah para pemuda yang malah ketagihan etu meskipun terluka bahkan sempat pingsan 'dihajar' lawan.
Bagi masyarakat Kampung Focolodorawe, Kecamatan Baowae, Kabupaten Nagekeo, menggelar etu sebagai wujud ungkapan syukur atas hasil panen yang diperoleh selama setahun. Kekerabatan dan darah yang tercecer saat tinju adat etu diyakni menyucikan kampung tempat tinju adat tersebut berlangsung.
Baca: Sikapi Bom Surabaya, Komunitas Ana Tana dan Forum Komunikasi Pemuda Kawangu Bakar 1.000 Lilin
Sebelum etu, digelar ritual etu kobe selama empat malam berturut-turut. Etu kobe merupakan tinju adat pada malam hari. Etu kobe hanya melibatkan warga setempat.
Ada juga etu leza, tinju yang melibatkan warga dari luar kampung Focolodorawe. Etu leza digelar siang hari. Pada malam sebelum etu leza, dilaksanakan dero. Dero berupa nyanyi dan tarian adat. Lagu yang dinyanyikan memberi semangat.
Dero melibatkan semua warga dan wajib mengenakan pakaian adat daerah Nagekeo. Dero biasanya digelar malam hingga pagi hari.
Sabtu siang itu suasana sangat ramai. Meski panas terik menyengat, warga antusias menyaksikan etu leza. Di lapangan yang disulap jadi arena tinju, sudah berdiri delapan orang. Dua orang petinju, dua wasit (warga setempat menyebutnya seka). Ada juga sike (pendamping petinju) dan dua orang tua penjaga une etu (sarung tinju).
Mereka memakai do (topi) di kepala. Di pinggang terlilit kain tenun Nagekeo yang disebut lesu. Kedua petinju yang siap bertarung tanpa alas kaki. Sebelum pertarungan tinju dimulai, disampaikan aturan main. Ada sejumlah aturan yang wajib dilaksanakan, yakni selain panitia tidak boleh masuk dalam lapangan tinju. Begitu juga wanita, tidak diperkenankan masuk dalam lapangan karena dianggap pemali.
Hal lainnya yang diatur, yakni saat tinju tidak boleh tendang pakai kaki, tidak mengeluarkan kata-kata kotor (caci maki) dan wasit harus netral. Siapa yang melanggar aturan akan menerima sanksi, denda kerbau satu ekor dengan ukuran panjang tanduk 50 cm.
Saat kedua petinju bertarung, penonton memberi semangat. Kedua petinju saling membalas pukulan. Teriakan histeris penonton tak terhindarkan. Tinju adat berlangsung tiga ronde. Setiap ronde waktunya tiga menit. Penonton mengikuti rangkaian acara hingga selesai. Duel pun berakhir aman.
Seusai tinju kedua petinju berpelukan. Momen itu sebagai ajang untuk berdamai seusai uji ketangkasan. Tinjutidak memperebutkan gelar, hanya memeriahkan pesta syukur panen di kampung itu.
Beberapa petinju yang ditemui, mengaku senang dan bangga. Momen tinju adat merupakan ajang adu ketangkasan dan teknik bertinju untuk memeriahkan pesta adat.
Edo Woa (21) baru pertama kali mengikuti tinju adat. Edo memberanikan diri karena ada mosalaki (pencari petinju) mengajaknya. "Awalnya saya takut, tapi karena ada yang motivasi sehingga saya mau ikut. Saya ketagihan. Maunya tinju lagi," ujarnya.
Engki Mosa (21), petinju lainnya, menuturkan, ia sudah beberapa kali mengikuti tinju adat. Ia tidak takut terkena pukulan lawan. "Sudah biasa ikut sejak SMP. Saya ikut tinju di Boawae, Rendu, dan Batugase," ujar Engki.
Liber Pai (19) juga sudah beberapa kali ikut tinju adat dan terkena pukulan lawan yang melukai wajahnya. "Mau luka atau tidak kami tidak takut karena sudah terbiasa. Tapi saya ketagihan. Maunya tinju terus sampai puas," kata Liber.
Jefrin Gase (21) bahkan pernah pingsan. "Saya pernah pingsan, tapi tetap mau ikut tinju karena sudah ketagihan. Adat ini bagus menjalin keakraban antara sesama," ujar Jefrin. Jefrin berjanji menjaga adat dan budaya Kampung Focolodorawe. "Ini harus dipromosikan ke luar dan harus diwariskan kepada anak cucu. Karena budaya ini unik dan tidak ada di tempat lain," katanya.
Jefrin menjelaskan, jika kena pukulan dan luka saat etu, ada obat yang sudah disediakan oleh tetua adat. Obat yang digunakan berupa air sirih pinang yang dimakan oleh tetua adat kemudian dioleskan pada wajah atau bagian yang luka dari petinju.
"Saya percaya itu karena memang obat itu berupa air sirih yang dioles oleh para tetua adat. Pakai obat air sirih itu langsung sembuh. Saya percaya itu. Adat yang di sini memang begitu, malah kita ingin tinju lagi. Kita mau memberikan yang terbaik," kata Jefrin. (*)