NTT Terkini

Pengamat Sebut Aset Negara di NTT Mangkrak karena Ego Politik dan Lemahnya Perencanaan

Habde menilai sistem pengawasan saat ini bersifat “pemerintah mengawasi pemerintah”, sehingga tidak efektif.

|
Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
Pengamat kebijakan publik dan penganggaran, Habde Adrianus Dami 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan

POS-KUPANG.COM, KUPANG — Pengamat kebijakan publik dan penganggaran, Habde Adrianus Dami, menyoroti seriusnya persoalan fasilitas negara mangkrak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurutnya, banyak aset publik yang seharusnya menjadi pendorong pelayanan dan pertumbuhan ekonomi justru terbengkalai, rusak, bahkan hilang dari pencatatan pemerintah.

Habde mengatakan, aset publik memegang peran penting dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. 

Namun dalam kenyataan, banyak bangunan seperti gedung pemerintahan, pasar, rumah sakit, BLK, hingga infrastruktur dasar justru tidak produktif.

“Aset-aset yang dibangun itu punya nilai ekonomis dan sosial, tetapi realitasnya banyak yang tidak dimanfaatkan, terbengkalai bahkan rusak. Ini sangat miris karena di satu sisi kita kekurangan anggaran, tetapi uang negara habis begitu saja tanpa memberi manfaat,” kata Habde kepada POS-KUPANG (22/11/2025).

Ego Politik dan Lemahnya Perencanaan Jadi Penyebab Utama

Menurut Habde, salah satu penyebab utama aset mangkrak adalah pergantian kepemimpinan daerah setiap lima tahun. Banyak proyek yang dibangun pemimpin sebelumnya tidak dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya karena alasan politis.

 “Ada faktor gengsi dan pencitraan. Kalau bukan dia yang merencanakan, fasilitas itu tidak dilanjutkan. Akhirnya bangun baru lagi. Ini contoh nyata ego politik dalam pemerintahan,” ujarnya.

Selain faktor politik, ia menyoroti lemahnya perencanaan dan rendahnya kualitas SDM birokrasi. Perencanaan banyak dilakukan secara top–down, tidak berdasarkan kebutuhan di lapangan, dan tidak melibatkan masyarakat secara efektif. Ego sektoral antarinstansi dan antarwilayah juga memperparah keadaan.

“Ada fasilitas yang bisa dipakai dua daerah, tetapi karena ego wilayah, proyek itu dibiarkan. Tarik-menarik kepentingan membuat aset publik menjadi korban,” jelasnya.

Baca juga: Nilai Aset Negara di NTT Tembus Rp87 Triliun, Kinerja Lelang dan PNBP Menguat

Dampak: Hilangnya Kepercayaan Publik dan Kerugian Ekonomi

Habde menyebutkan, terbengkalainya fasilitas publik tidak hanya merugikan secara anggaran, tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat.

“Dampak sosialnya besar. Masyarakat menjadi tidak percaya pada pemerintah. Mereka merasa pajak yang dibayar tidak digunakan secara efektif,” tegasnya.

Selain itu, kerugian ekonomi terjadi karena aset yang seharusnya menghasilkan nilai tambah justru tidak memberi apa-apa. Beberapa aset bahkan hilang barang dan peralatan karena tidak ada pengawasan.

Habde menilai sistem pengawasan saat ini bersifat “pemerintah mengawasi pemerintah”, sehingga tidak efektif. Perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi masih berada dalam lingkup pemerintah sepenuhnya.

“Pemerintah yang rencanakan, pemerintah yang laksanakan, pemerintah yang evaluasi. Masyarakat tidak punya keterlibatan signifikan. Konsep seperti ini harus diubah,” katanya.

Menurutnya, masyarakat, swasta, dan pemerintah seharusnya memiliki posisi setara dalam proses perencanaan pembangunan.

Habde mendorong pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap semua aset yang dimiliki, untuk menentukan mana yang masih bisa dimanfaatkan dan mana yang tidak.

“Aset yang masih bisa produktif harus dipublikasikan secara terbuka. Jika perlu, pemerintah dapat membuka kerja sama dengan swasta untuk pengelolaan agar lebih efektif,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas birokrasi dalam manajemen aset.

Reformasi Fundamental: Perencanaan Berbasis Kebutuhan Masyarakat

Di akhir wawancara, Habde menegaskan bahwa reformasi terbesar harus dimulai dari proses perencanaan pembangunan.

 “Forum-forum perencanaan dari tingkat kelurahan sampai kabupaten itu jangan hanya seremonial. Masyarakat harus terlibat nyata. Yang dibangun harus berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan politik,” pungkasnya.

Menurutnya, tanpa perubahan pola pikir dan tata kelola, kasus aset publik mangkrak akan terus berulang dan menjadi pemborosan anggaran yang merugikan masyarakat NTT. (uan)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved