Podcast Pos Kupang

Kepala Balai Bahasa NTT: Bahasa Indonesia Sudah Setara dengan Bahasa Lain 

Terkait perkembangan platform digital saat ini Budhi menjelaskan, selama satu dasawarsa ini sudah menjadi sesuatu yang biasa.

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
PODCAST POS KUPANG - Kepala Balai Bahasa NTT, R. Hery Budhiono bersama host jurnalis Pos Kupang, Ani Toda dalam Podcast Pos Kupang, Rabu, 05/11/2025. 

"Kalau kita memaknai bahasa Indonesia yang baik itu bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteksnya, konteks itu luas, dengan siapa kita berbicara, topiknya apa, di mana, moda atau wahana apa yang kita gunakan untuk menggunakan bahasa itu, kemudian kita sadar bahwa kita berada di ranah digital, di media sosial. Nah bahasa yang muncul di sana tentu juga bahasa Indonesia yang sesuai dengan ranah digital itu. 
Memang tidak mengharuskan orang menggunakan bahasa baku tetapi kehadiran istilah-istilah yang barangkali kurang baku, yang merupakan ragam cakapan dan seterusnya, itulah yang bisa kita asumsikan bahwa dia memang bahasa Indonesia yang baik, sesuai dengan konteksnya di media sosial. Jadi disitu tidak dilarang muncul istilah-istilah yang informal, istilah bahasa asing dan seterusnya. 
Tetapi kita juga bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar di media sosial sebagai salah satu bukti kecintaan kita dan sebagai salah satu wahana edukasi bagi siapapun yang bisa menjangkau platform digital kita. Jadi lebih kepada pembagian peran, ketika kita berada di platform digital kemudian ada di konteks media sosial, bahasa Indonesia lebih luwes tapi ketika kita berada di satu konteks yang formal yang mengharuskan bahasa Indonesia yang muncul di situ adalah bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar, itu kita patuhi. Yang paling penting adalah kita harus sadar konteks. Jangan sampai bahasa Indonesia yang kita gunakan dalam konteks media sosial kita gunakan juga dalam konteks bahasa Indonesia formal. Itu barangkali akan banyak yang kurang berkenan karena ada banyak istilah yang ada di media sosial tetapi konotasi maknanya berbeda," kata Budhi. 


Seiring perkembangan platform digital, kehadiran istilah-istilah baru, menurut Budhi bukan merupakan ancaman tetapi bagaimana menyikapi itu. 
 
"Kata-kata yang sekarang muncul di media sosial ini bisa jadi sudah terekam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tadi saya sampaikan Doxing, Flexing, dulu tidak ada tetapi sekarang sudah kita gunakan secara masif. 
Kalau Doxing sudah ada bahasa Indonesianya, tetap kita sesuaikan pelafalannya, ejaannya menjadi doksing, tetapi masih ada label cak di KBBI. Kalau disitu masih ada label cak, kependekan dari cakapan, berarti itu bahasa Indonesia ragam lisan. 
KBBI kita itu merekam semua kosakata baik kosakata yang baku maupun yang tidak, jadi mesti hati-hati. Ketika menggunakan kamus bahasa Indonesia kita cermati dulu labelnya apa, cak atau apa. Kalau cakapan berarti ragam lisan, tidak dianjurkan digunakan dalam ragam tertulis. Kira-kira begitu. 

Jadi ini peluang sekaligus juga bagaimana kita mendorong diri kita untuk sadar konteks sadar kapan berbahasa Indonesia yang baik dan benar dan itulah salah satu cara kita untuk menghargai bahasa Indonesia," urainya. 

Baca juga: Soal Ujian Sekolah dan Kunci jawaban Bahasa Indonesia Kelas 9 halaman 159, 160 Kegiatan 1 Bab 6 


Untuk kosakata baru, jelasnya, ada beberapa kaidah penyerapan. Jika tidak ditemukan di bahasa daerah, tidak kita temukan di bahasa Indonesia, maka disesuaikan ejaannya. 

"Seperti komputer, tidak kita temukan di bahasa daerah, kemudian kita serap tetapi kita sesuaikan ejaannya. 
Ada juga penyerapan yang harus kita rekayasa misalnya download, upload, sekarang sudah ada unduh dan unggah. Itu dari bahasa daerah. Sekarang itu sudah semakin terkenal dan kalau kita sudah memiliki alternasinya dalam bahasa Indonesia ya kita gunakan bahasa Indonesianya tapi kalau belum, tidak diharamkan juga untuk menggunakan bahasa asing karena belum ada padanannya. 
Contoh yang barangkali sekonteks dengan kata Healing. Healing itu bahasa Indonesianya pemulihan ya kita gunakan pemulihan tapi ada konteks tertentu yang kita harus menggunakan kata healing. Nah itu yang harus kita introspeksi diri kapan kita menggunakan kata healing kapan kita menggunakan kata pemulihan," ujarnya. 

Terkait Gen Z, Gen Alfa, kata Budhi, mereka lahir ketika era digital sudah mencapai puncaknya sehingga dia berpikir bahwa sebenarnya tidak ada masalah atau mereka tidak dihadapkan secara langsung dengan masalah kebahasaan, tinggal bagaimana media pembelajaran bahasa yang mereka gunakan seperti apa. 

"Kalau mereka cuma mengandalkan media sosial yang bertebaran begitu banyak istilah yang tadi saya sampaikan, ada istilah model lisan, tidak baku dan seterusnya. Tentu boleh digunakan sebagai salah satu cara untuk memperkaya kosakata diri tetapi kalau mereka juga belajar dari media-media yang lebih bisa dipertanggungjawabkan misalnya dari buku-buku teks, itu juga bisa menjadi media pembelajaran 
Jadi bagaimana generasi sekarang ini yang paling penting barangkali kepedulian dan kecintaan atau sikap positif terhadap bahasa Indonesia karena dari sikap positif itu kemudian mereka akan menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai macam konteks.
Kata-kata apa yang muncul, bahasa asing kah, bahasa Indonesia kah, nanti dia akan keluar dengan sendirinya dia sadar konteks tentu tidak akan saling bertentangan," terangnya. 

Terkait konteks bahasa Indonesia, kaya Budhi, ada dua tugas dan fungsi yang cukup penting yaitu peningkatan literasi kebahasaan dan penginternasionalan bahasa Indonesia. 

"Kalau penginternasionalan tadi di awal sudah saya sebutkan, bahasa Indonesia sudah berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan bahasa-bahasa internasional yang lain. Kemudian peningkatan literasi kebahasaan dan kesastraan. Ini kita jewantahkan dalam bentuk semacam pembinaan kebahasaan kemudian penyuluhan kebahasaan yang sasarannya itu luas jadi bisa siswa, bisa tenaga pendidik, bisa tenaga kependidikan, ASN struktural dan siapapun yang memerlukan jadi setiap tahun kami melakukan itu dan saya pikir bukan cuma penyuluhan, kegiatan yang sifatnya formal seperti itu, kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan literasi juga kami lakukan. Penerbitan buku-buku bacaan, penyelenggaraan kegiatan yang terkait dengan kebahasaan, yang baru saja berlangsung adalah bulan bahasa dan sastra Oktober kemarin, itu juga menjadi salah satu alat bagi kami untuk bagaimana kami meningkatkan literasi kebahasaan dan kesastraan," ucapnya. 

Menurut Budhi, peran awak media juga sangat penting meningkatkan literasi di masyarakat karena setiap hari mencari berita, menyusunnya kemudian mengunggahnya ke media daring atau cetak. 

"Nah kawan-kawan media ini bisa menjadi ujung tombak diseminasi bahasa Indonesia jadi penyebaran istilah-istilah baru kemudian pengenalan istilah-istilah baru, awak media itu menjadi orang pertama biasanya. 
Kalau awak media ini penguasaan bahasanya sudah baik, sudah unggul, yang membaca kan juga ikut teredukasi," katanya. 

"Saya pikir bukan masalah keterserapannya baik atau tidak tetapi lebih bagaimana kita ingin melakukan penyebarluasan informasi artinya ini lho ada padanan kata untuk istilah bahasa asing X misalnya, kemudian ada istilah-istilah baru yang barangkali orang perlu kita beritahu maknanya supaya tidak keliru dalam menggunakan kata atau istilah baru itu. Saya pikir itu salah satu langkah diseminasi yang cukup baik tapi dari berapa kegiatan yang kami lakukan dengan teman-teman media dengan peserta kegiatan yang lain, kebanyakan mereka masih berpikir bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar itu bahasa baku padahal tidak selalu demikian padahal bahasa Indonesia yang baik seperti yang di awal saya sampaikan, adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteksnya," tambahnya. 

Terkait prospek bahasa Indonesia kedepan, kat Budhi, persoalan paling mendasar adalah ketika kita sebagai penutur bahasa Indonesia tidak memiliki kecintaan kebanggaan dan kepedulian.

"Artinya apa? Di luar, bahasa Indonesia sudah terhormat tetapi di dalam bagaimana? Nah itu yang perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri.
Ketika berada di platform digital, bahasa Indonesia justru berhadapan muka ke muka (face to face) dengan bahasa-bahasa lain. Nah disitulah interaksi terjadi dengan bahasa Inggris dan bahasa asing yang lain. Pergaulan atau interaksi antar bahasa ini yang kemudian dapat digunakan oleh bahasa itu untuk memperkaya khasanah kosakatanya. Bahasa Indonesia menyerap kosakata dari bahasa asing, bahasa asing juga menyerap kosakata dari bahasa kita. Jadi ada timbal baliknya dan kalau sekarang di KBBI kita punya 208 ribu kata dalam bahasa Indonesia, sepuluh dua puluh tahun kedepan, tidak menutup kemungkinan kita akan memasuki angka 400 atau 500 ribu kata. Bahasa-bahasa yang sudah mapan seperti bahasa Inggris sampai sekarang masih menyerap kata-kata asing yang terus digali baik kata asli atau kata yang sudah ada tetapi maknanya luas. Bahasa Indonesia pun demikian jadi dengan adanya platform digital justru akan membangun kemudian mengembangkan bahasa Indonesia untuk nanti masalah penyerapan, masalah diseminasi akan kita sesuaikan, kaidah penerapannya kita terapkan dan diseminasinya 
Saya pikir itu salah satu cara Bahasa Indonesia lebih besar lagi," jelasnya. 

Untuk meningkatkan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap bahasa Indonesia, kata dia, hal yang perlu disiapkan secara mendasar adalah masala sikap positif bahasa yang harus terus menerus dikemukakan dan perlu dibentuk. 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved