Wawancara Eksklusif
Wawancara Ekslusif - Insentif Hanya Menarik Orang Datang Tidak Membuat Orang Bertahan
Ada beberapa orang seperti saya punya kesempatan cerita dengan dokter-dokter tua kemudian mereka yang memberikan makna itu kepada saya.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sampai saat ini Nusa Tenggara Timur (NTT) masih kekurangan tenaga dokter yang bertugas di daerah-daerah pelosok meskipun NTT punya Fakultas Kedokteran Undana yang mencetak lulusan dokter setiap tahun.
Menurut Ketua Tim Health Promoting University (HPU) di Universitas Nusa Cendana, Dr. dr. Nicholas Edwin Handoyo, M.Med.Ed., membentuk mental tahan banting dan betah mengabdi dari seorang dokter bukan hanya dari sisi keuangan tetapi bagaimana membuat calon dokter menemukan makna dalam pengabdian.
Berikut cuplikan wawancara eksklusif Pos Kupang bersama dr. Nicholas dalam Undana Talk, Rabu, (1/10/2025).
Ada korelasi antara keinginan untuk mengabdi dengan insentif?
Dulu kita berpikir bahwa kalau membawa dokter ke daerah pelosok itu adalah memberikan insentif, fasilitas rumah yang bagus, ada listrik ada air, itu tidak salah.
Baca juga: Angka Kemiskinan Ekstrem di NTT Masih 19 Persen, Akademisi Undana Beberkan Penyebab
Tapi itu sebenarnya adalah motivasi untuk membuat orang datang. Itu yang saya temukan dalam penelitian saya bahwa motivasi itu adalah insentif membawa orang untuk datang.
Tetapi apakah insentif mempertahankan orang untuk berada di daerah? Itu menjadi pertanyaan kedua, karena motivasi untuk membuat kita datang dan motivasi untuk membuat kita bertahan adalah dua hal yang berbeda.
Kalau kita datang dengan iming-iming dulu kan jelas. Kalau tidak ada rumah, tidak ada tempat tinggal nyaman, siapa yang mau datang?
Orang akan datang kalau ada beberapa daerah, mana yang menawarkan insentif paling tinggi ya kita akan pergi ke sana. Manusiawi.
Tapi apakah yang cukup untuk mempertahankan mereka di sana? Ternyata tidak. Kalau teman-teman yang PNS mungkin sudah punya gaji tetap, kemudian kami dosen ada namanya sertifikasi dosen, ada lagi tambahan uang.
Waktu kami terima pertama kali insentif itu sebagai sertifikasi dosen ya kami senang ada tambahan uang. Tapi setelah beberapa bulan, beberapa tahun, dengan jumlah uang yang sama itu menjadi hal yang biasa. Jadi sebenarnya insentif ini tidak membuat orang bertahan. Itu hanya membuat orang datang.
Apa yang harus dilakukan untuk membuat orang bertahan?
Dia harus menemukan makna lain. Maknanya apa? Bukan hanya uang karena uang tidak membuat orang bertahan jadi harus ada makna baru yang kita temukan.
Berarti untuk membentuk dokter yang tahan banting dan betah mengabdi harus dimulai dari sistem pendidikan?
Betul. Jadi tidak bisa kita hanya memikirkan bahwa kita kirim dokter ke daerah kemudian suruh dia temukan maknanya sendiri ya susah.
Ada beberapa orang seperti saya punya kesempatan cerita dengan dokter-dokter tua kemudian mereka yang memberikan makna itu kepada saya.
Tetapi orang-orang lain belum tentu mereka mendapatkan sharing dari dokter yang tua. Mungkin mereka ketemu justru role model yang tidak terlalu bagus, yang datang ke sini mau cari uang kemudian ketemu dengan orang itu akhirnya mendapatkan feedback uang yang penting akhirnya dokter ini pergi kemudian kita yang dapat ilmu dari dia ya kita juga tidak betah karena kita pikir mau cari uang.
Jadi sebenarnya kita butuh model pendidikan dimana mahasiswa ini sudah dilatih untuk mencari makna dari pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Kalau memungkinkan lebih baik lagi kalau kita bisa memgirimkan mereka untuk merasakan berada di daerah itu seperti apa.
Bagaimana anda mengelompokkan dokter berdasarkan tipe?
Sebenarnya saya belajar dari banyak orang untuk menjadi diri saya yang sekarang. Saya pergi S2 itu saya wawancara dokter-dokter tua, saya ambil Medical Education, kemudian saya pergi ke dokter-dokter yang mengabdi lebih dari sepuluh tahun di NTT.
Pertanyaan saya sederhana sebenarnya. Kenapa sih kok ada yang mau berada di NTT untuk jangka waktu lama. Saya ingin tahu dan itu yang menjadi topik ketika S2.
Mereka sharing pengalaman hidup mereka. Akhirnya saya merangkum itu menjadi 9 tipe dokter yang mau berada di NTT.
Tipe yang pertama itu adalah tipe spiritualis. Tipe ini merasa bahwa mereka ada di NTT karena panggilan. Tuhan menempatkan mereka di sini karena mereka punya tugas tertentu yang harus diselesaikan.
Kedua, tipe idealis, kalau jadi dokter tidak hanya melayani mereka yang ada di kota besar, yang bajunya bagus, tapi juga masyarakat di sini yang miskin, yang terpinggirkan, tidak ada yang melayani, itulah tipe dokter yang ideal.
Kemudian tipe berikutnya, adventure, yang suka bertualang, naik gunung, naik kuda, naik perahu. Kan kalau di NTT ada banyak pulau, harus naik kapal, motornya dinaikkan ke kapal, jadi seru.
Tipe berikutnya rasionalis. Ada satu dokter tua yang saya interview waktu itu bilang begini. Saya dari Bali. Di sini saya satu-satunya dokter di satu kabupaten, jadi kalau saya praktek di sini, semua pasien perginya ke saya. Tapi kalau saya pulang ke Bali, sudah ada banyak dokter di sana. Kalau saya pergi ke sana belum tentu saya punya penghasilan seperti di sini. Jadi tipe rasionalis berpikir untung ruginya dia berada di daerah dibandingkan dengan tempat tinggalnya.
Tipe yang berikutnya adalah workaholic. Ini tipe yang suka kerja jadi kalau ada di daerah, dokternya sedikit, otomatis pekerjaannya jadi banyak.
Jadi yang saya interview waktu itu dokter umum, pagi di rumah sakit, sore praktek kemudian kadang diminta untuk ngajar karena ada sekolah perawat di situ, kemudian kalau malam kadang masih ada panggilan untuk yang emergency, dia masih harus operasi juga, jadi kalau tidak bisa menikmati kesehariannya bekerja sebagai seorang dokter dengan banyaknya pekerjaan, otomatis tidak akan bertahan.
Kemudian tipe berikutnya, family. Ada beberapa orang yang memilih kembali ke NTT karena keluarganya ada di NTT. Tapi ada juga yang kayak saya contohnya, saya datang ke NTT dengan istri dan anak.
Kalau tidak dengan istri dan anak, otomatis peluang saya untuk pulang lebih besar. Dengan keberadaan keluarga maka bisa membantu orang untuk bertahan.
Masih ada lagi tipe, agent of change. Satu yang saya interview itu cerita ke saya begini. Suaminya ditawari jadi dosen di UGM tapi waktu itu suaminya bilang lebih baik kita di NTT pulang ke kampung. Si dokter ini bukan dari NTT tapi suaminya yang dari NTT.
Tapi apa yang dicetuskan kepada saya adalah begini, ada satu kebanggaan kalau kita ada di NTT dari segala sesuatu yang tidak ada kita membuat menjadi ada. Beda dengan kita masuk ke UGM atau kota besar yang segala sesuatu sudah ada, kita tinggal masuk ke situ dan mengikuti saja apa yang ada di situ. Itu bukan tantangan baru. Dia datang, dia senang dan dia membuat perubahan. Dia merasa dirinya berguna kalau menciptakan banyak hal baik di daerah.
Kemudian ada satu tipe lagi, independen. Ada beberapa yang saya interview itu mereka memilih untuk keluar dari PNS. Mereka tidak suka diperintah, tidak suka terikat, kemudian kalau punya atasan kan selalu dapat tugas, harus ini, harus itu, harus ikut atasan, harus izin, jadi mereka tidak suka terikat sehingga memilih keluar dari PNS, buka praktek sendiri bahkan ada yang buka klinik, buka rumah sakit, jadi mereka suka yang independen, bebas menjadi diri sendiri bukan yang terkungkung, terikat dengan banyak peraturan.
Tipe terakhir, desperate atau putus asa. Jadi tidak semua dokter itu bahagia. Ada beberapa yang ternyata tidak menikmati kehidupannya sebagai dokter atau berada di daerah tempat dia bekerja, entah karena sistemnya, entah karena situasi setempat, mereka tidak suka di situ tetapi mereka tidak tahu bisa pergi ke mana.
Karena tidak bisa pindah, mungkin tidak ada tempat lain, atau dia sudah terlanjur depresi dan tidak berani melangkah, itu bisa juga. Itu sembilan tipe yang saya temukan dari penelitian saya dulu. (uzu)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.