Liputan Khusus
LIPSUS: Eks Kapolres Ngada Dituntut 20 Tahun, Fajar Tidak Menyesali Perbuatannya
Dalam persidangan, JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan kombinasi (alternatif kumulatif) terkait Undang-Undang Perlindungan Anak
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dituntut 20 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi NTT dan Kejaksaan Negeri Kota Kupang dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan di Kota Kupang.
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan tersebut berlangsung di ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Kota Kupang, Senin (22/9). Hadir tim JPU yang terdiri dari Arwin Adinata, SH, MH, Kadek Widiantari, SH, MH, Samsu Jusnan Efendi Banu, SH, dan Sunoto, SH, MH.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim AA GD Agung Parnata dengan dua hakim anggota yakni Putu Dima Indra dan Sisera Semida Naomi Nenohayfeto.
Dalam persidangan, JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan kombinasi (alternatif kumulatif) terkait Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Berdasarkan hasil pembuktian di persidangan, JPU menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana sebagaimana dalam dakwaan kesatu Pasal 81 ayat (2) jo. Pasal 65 KUHP serta dakwaan kedua Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 64 KUHP. Dalam tuntutannya, JPU meminta majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap anak serta menyebarkan konten bermuatan kesusilaan. Atas perbuatannya, JPU menuntut pidana penjara selama 20 tahun, dikurangi masa tahanan.
Selain dituntut 20 tahun penjara, eks Kapolres Ngada ini juga didenda sebesar Rp 5 Miliar, subs 1,4 tahun penjara. Selain itu, JPU juga menuntut adanya restitusi dari eks Kapolres Ngada Fajar Lukman untuk ketiga korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebesar Rp 359.162.000 dan subsider 4 tahun.
Rinciannya, korban IS Rp 34.645.000, korban MAN Rp 159.416.000 dan lorban WAF Rp 165.101.000.
Barang bukti berupa pakaian, handphone, laptop, serta rekaman video dirampas untuk dimusnahkan, sementara barang-barang milik korban dikembalikan.
JPU menilai tidak ada hal yang meringankan bagi terdakwa eks Kapolres Ngada Fajar Lukman. Menurut JPU, hal yang memberatkan terdakwa eks Kapolres Ngada Fajar Lukman yakni terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan tidak menunjukkan penyesalan. Perbuatan terdakwa menimbulkan trauma mendalam bagi anak korban.
Kasus ini sempat viral di media sosial dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Sebagai aparat penegak hukum, terdakwa justru mencoreng nama baik institusi dan merusak citra Polri. Tindakan terdakwa merusak kepercayaan publik serta mencederai program pemerintah dalam perlindungan anak.
Dalam persidangan itu juga, JPU menegaskan bahwa tuntutan ini merupakan bentuk komitmen negara dalam melindungi generasi penerus bangsa. “Negara tidak boleh kalah melawan kejahatan seksual terhadap anak. Tuntutan ini menjadi bukti nyata bahwa Kejaksaan berkomitmen melindungi masa depan generasi penerus bangsa,” tegas JPU.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 20 (dua puluh tahun) dengan dikurangkan terdakwa berada dalam masa penangkapan dan penahanan dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan," kata JPU Arwin Adinata, SH, usai sidang.
Sidang pembacaan tuntutan terhadap eks Kapolres Ngada itu berlangsung tertutup. Tim JPU yang hadir dalam sidang itu yakni Arwin Adinata, Samsu Jusman Efendi Banu dan Kadek Widiantari dan Sunoto.
Sementara itu, sidang tuntutan terhadap terdakwa Fani, JPU menuntut Fani 12 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 1 tahun penjara.
Sidang ditunda hingga Senin, 29 September 2025, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledooi) dari penasihat hukum terdakwa.
*Aksi SAKSIMINOR
Sebelum sidang berlangsung, organisasi masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminatif Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (SAKSIMINOR) bersama Aliansi Cipayung Plus, mendatangi Kantor Pengadilan Negeri Kupang, Senin (22/9).
Hadir saat itu sejumlah elemen SAKSIMINOR diantaranya, Ketua LPA NTT Veronika Ata, SH,M.Hum, Diretkur CIS Timor Haris Oematan, DIrektris Bengkel APPEK THresia aty Nubi, Divisi Advokasi Hukum Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT Gregorius Retas Daeng, SH, KOMPAK, LBH APIK NTT, LBH Surya. Serta Aliansi Cipayung Plus seperti GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, dll.
Para peserta aksi membawa poster dan menyuarakan tuntutan agar proses hukum berjalan adil serta memberikan hukuman maksimal kepada pelaku. Aksi ini dilakukan seiring dengan jadwal sidang kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak dan penyebaran konten asusila dengan terdakwa eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja alias Fajar Lukman.

Massa aksi datang dengan membawa sejumlah spanduk dan poster berisi aspirasi mereka. Beberapa orator melakukan orasi di depan pagar Kantor PN Kupang. Sementara itu sejumlah Polisi berjaga di dalam pagar kantor PN Kupang.
Massa aksi membawa beberapa poster bertuliskan "Hukum Maksimal", "Zero Toleransi untuk Pelaku Kekerasan Seksual", dan "APH Wajib Melindungi Anak".
Mereka bersemangat menyuarakan tuntutan mereka, yaitu hukuman setimpal bagi pelaku dan desakan agar proses peradilan berjalan secara objektif dan tanpa intervensi. Sejumlah Orator dari GMKI, PMKRI, GMNI, APPA NTT, mengemukakan orasinya.
Gregorius Retas Daeng, SH, Divisi Advokasi Hukum Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, menegaskan pentingnya keterlibatan publik dalam mengawal kasus ini.
“Hari ini kita aksi dari SAKSIMINOR dan seluruh jaringan masyarakat sipil di Kupang untuk memastikan persidangan tidak direkayasa. Pelaku adalah aparat penegak hukum, semestinya melindungi, bukan justru melakukan kejahatan,” ujarnya lantang.
Gregorius juga menyoroti dakwaan jaksa yang dinilai belum menyertakan pasal-pasal terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), padahal menurutnya unsur-unsur perbuatan terdakwa telah memenuhi kualifikasi tersebut.

“Jika pasal TPPO tidak masuk dalam tuntutan, maka ini bisa menjadi preseden buruk dan menyesatkan peradilan,” tegasnya.
Lebih jauh, Gregorius mengkritisi proses persidangan yang menghadirkan saksi ahli justru merendahkan martabat korban. “Apapun kondisinya, anak yang berhadapan dengan hukum adalah korban. “Tidak boleh ada keterangan yang merayakan penderitaan anak. Itu sangat memalukan,” katanya.
Ia menambahkan, aparat penegak hukum harus sadar bahwa gaji dan fasilitas negara yang mereka nikmati bersumber dari pajak rakyat.
“Polisi, jaksa, dan hakim dibayar untuk menegakkan hukum, bukan untuk melindas masyarakat kecil. Jika hukum hanya jadi panggung rekayasa, itu peradilan sesat,” serunya disambut tepuk tangan peserta aksi.
Aksi damai berjalan tertib dengan kawalan aparat keamanan. Para orator secara bergantian mengingatkan bahwa keadilan harus berpihak pada korban, bukan melindungi pelaku kejahatan seksual.
“NTT tidak boleh terus dicap sebagai ‘Nusa Tidak Tentu’ atau sarang perdagangan orang. NTT harus menjadi Nusa yang aman, tanpa kekerasan, tanpa trafficking, dan berpihak pada anak,” tutup Gregorius.
SAKSIMINOR menegaskan, aksi damai ini bukan yang terakhir. Mereka berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum hingga putusan akhir dijatuhkan dan memastikan korban mendapatkan keadilan penuh. (uan/vel/*)
*Hakim yang Bermain Saya Pecat
KETUA PN Kelas 1A Kupang, Hery Haryanta, SH menemui massa aksi SAKSIMINOR dan aliansi Cipayung Plus di depan pagar PN Kupang untuk mendengarkan sejumlah orasi yang disampaikan para orator.
Saat itu massa aksi menyinggung tentang pintu pagar PN yang tertutup sedangkan massa aksi ingin menyampaikan aspirasinya kepada para hakim. Mendengar hal itu, Hery langsung meminta stafnya untuk membuka pintu pagar dan mengajak seluruh massa aksi untuk masuk ke dalam halaman Kantor PN Kupang.
Hery bersama sejumlah staf dan hakim kemudian menerima massa aksi di depan pintu masuk Kantor PN Kupang. Di sana, massa aksi kembali menyampaikan aspirasinya dan Hery tetap setia mendengarkan orasinya.
Pdt (Emrt) Ina Bara Pah kemudian membacakan tuntutan dan penyataan sikap SAKSIMINOR dan aliansi Cipayung Plus kemudian memberikan kepada Heri.

Hery diberikan kesempatan untuk menyampaikan komtimennya dihadapan massa aksi. Menanggapi aksi massa tersebut, Hery Haryanta memastikan bahwa pengadilan akan menjalankan proses hukum dengan seadil-adilnya, transparan, dan tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Hery meminta masyarakat untuk terus mengawal jalannya persidangan dan dia menegaskan,hakim tidak main-main dalam menangani perkara di PN Kupang.
"Saya tidak main-main di sini dan saya tidak ada kepentingan apapun dalam hal ini. Dan hakim pun sudah saya tekankan bahwa tidak ada intervensi dari siapapun dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Tolong dijaga, kalau memang ada yang main-main lapor ke saya! Pasti akan saya pecat! Tidak ada ampun bagi saya," ujar Hery Haryanta, yang disambut tepuk tangan massa.
Hery Haryanta menambahkan, pihaknya sangat berterima kasih atas dukungan dan aspirasi yang disampaikan oleh Aliansi Saksiminor. Ia menekankan bahwa kasus ini menjadi perhatian serius dan akan diproses secara profesional.
Aksi massa SAKSIMINOR dan Cipayung Plus ini ditutup dengan doa yang dibawakan oleh pendeta (Emrt) Emmy Sahertian. (vel/sisco)
*Kuasa Hukum Siapkan Pledoi
Menanggapi tuntutan 20 tahun penjara yang dibacakan JPU, kuasa hukum terdakwa, Andi Alamsyah, S.H., menyatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan, namun akan menanggapi secara resmi dalam pledoi pada sidang pekan depan.
“Kami sebagai penasihat hukum memahami dan menghormati tuntutan itu. Berkas tuntutan sudah kami terima, dan akan kami jawab melalui pledoi satu minggu ke depan,” ujar Andi Alamsyah usai siding pembacaan tuntutan JPU terhadap terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, di PN Kupang, Senin (22/9).
Menurutnya, tuntutan 20 tahun penjara memang sesuai dengan dakwaan yang sejak awal sudah diketahui arah pembuktiannya. Namun, ia menilai JPU tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang seharusnya dapat meringankan terdakwa.

“Kalau soal tuntutan, dua puluh tahun itu sudah sesuai dengan apa yang didakwakan. Tapi yang kami soroti, dalam tuntutan tersebut tidak ada hal yang meringankan. Padahal, dalam persidangan ada fakta-fakta yang bisa dijadikan pertimbangan meringankan,” jelasnya.
Kuasa hukum menegaskan, dalam penilaian mereka, terdapat fakta persidangan yang berbanding terbalik dengan apa yang didalilkan JPU.
“Itu yang nanti akan kami tuangkan dalam pledoi. Contoh sederhana, jaksa menilai terdakwa tidak mengakui perbuatannya, padahal di persidangan terdakwa mengakuinya,” tegas Andi.
Pihaknya optimistis pledoi akan menjadi ruang untuk menguraikan seluruh hal yang dianggap belum tercakup dalam tuntutan JPU. “Kami akan menyampaikan secara lengkap dalam pledoi, termasuk fakta-fakta meringankan yang menurut kami belum diakomodir,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 29 September 2025, dengan agenda pembacaan pledoi dari penasihat hukum terdakwa. (uan)
==NEWS ANALISIS
Pengamat Hukum Unwira, Dr. Mikhael Feka, SH, M.Hum : Bukan Putusan Akhir
Secara hukum, tuntutan jaksa adalah bagian dari proses penuntutan, bukan putusan akhir. Artinya, masih sangat mungkin ada perubahan, baik lebih ringan maupun lebih berat, tergantung pada pertimbangan majelis hakim.
Hakim akan menilai seluruh rangkaian fakta di persidangan, termasuk pembelaan terdakwa, keterangan saksi dan ahli, alat bukti lain, serta dampak perbuatan terhadap korban dan masyarakat. Dalam praktik, vonis akhir bisa lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan tuntutan jaksa.
Kasus ini menjadi momentum penting bagi Polda NTT untuk memperkuat pengawasan internal. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, mulai dari rekrutmen, pembinaan, hingga rotasi jabatan.

Polda harus berbasis pada integritas dan profesionalisme. Pelatihan etika serta penggunaan teknologi informasi bagi anggota juga wajib diperkuat, mengingat kejahatan seksual kini kerap melibatkan platform digital.
Terkait peran aplikasi seperti MiChat yang kerap disalahgunakan sebagai medium prostitusi terselubung perlu ada langkah sistematis yang diambil. Penanganannya tidak cukup dengan pemblokiran.
Polda harus bekerja sama dengan Kemenkominfo dan penyedia aplikasi untuk memantau aktivitas mencurigakan serta melakukan patroli siber secara aktif. Edukasi publik tentang bahaya penggunaan aplikasi tanpa pengawasan juga sangat penting.

Tak hanya aparat, peran penting orang tua juga dibutuhkan untuk mencegah anak-anak terjerumus kasus serupa. Pendidikan seks dan moral harus dimulai dari rumah.
Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka dengan anak-anak, memahami aktivitas mereka di media sosial, dan membekali mereka dengan nilai agama serta etika. Pengawasan digital juga diperlukan, bukan dengan melarang membabi buta, tetapi dengan mendampingi anak dalam mengenali mana yang aman dan mana yang berisiko. (uge)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
LIPSUS : Universitas Terbuka UT Siapkan 15 Prodi Baru Berbasis STEM |
![]() |
---|
LIPSUS: Ketua DPRD NTT Emi Nomleni Tuding Wartawan Provokasi, Tunjangan DPRD yang Fantastis |
![]() |
---|
LIPSUS: 3,5 Jam Melki-Emi Bersama Massa Aksi Damai Cipayung Plus di DPRD NTT |
![]() |
---|
LIPSUS: Tunjangan Perumahan DPRD NTT Fantastis Rp 283,2 Juta Per Tahum |
![]() |
---|
LIPSUS: Dansatgas Bawa Kado untuk Paulus Taek Oki, korban penembakan UPF |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.