Opini
Opini: Kramagung Leba Wai, Antara Peran dan Saksi
Di era Antroposen ini, ketika krisis ekologi dan alienasi sosial mencapai titik kritis, ritual seperti Leba Wa'i justru menjadi semakin relevan.
Oleh: Gregorius Nggadung
Alumni Program Studi Ilmu Linguistik Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di tengah hiruk pikuk modernisasi yang menelan hampir setiap tradisi lokal, ritual Leba Wa'i di Manggarai Timur, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, berdiri tegak seperti pohon tua yang akarnya menghujam dalam hingga ke jantung bumi.
Ritual sederhana ini — mengipaskan daun pada kaki dan meletakkannya di
samping jalan—mungkin terlihat remeh bagi mata modern yang terbiasa dengan kemegahan upacara kontemporer.
Namun, justru dalam kesederhanaannya ( pemahaman internal) itulah terletak kekuatan filosofis yang mendalam.
Ritual Leba Wa'i bukan sekadar warisan leluhur yang dipraktikkan secara membabi buta.
Baca juga: Opini: Perempuan dalam Bingkisan Sastra
Ia adalah manifestasi dari pemahaman holistik masyarakat Manggarai tentang hubungan manusia dengan alam, sesama, dan yang sakral.
Ketika seseorang melakukan ritual ini di hutan Mbengan —perbatasan antara Kota Komba dan Kota Komba Utara —mereka sebenarnya sedang melakukan negosiasi spiritual dengan ruang dan waktu.
Hal yang menarik adalah bagaimana ritual ini merefleksikan konsep "pembersihan diri" yang universal, tetapi diekspresikan secara lokal.
Dalam konteks global yang semakin terfragmentasi, di mana individu sering kali terasing dari komunitas dan alamnya, Leba Wa'i menawarkan alternatif: pembersihan yang tidak hanya individual tetapi juga komunal dan ekologis.
Kritik terhadap Romantisasi Berlebihan
Namun, kita perlu berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap romantisasi berlebihan terhadap tradisi ini.
Meski artikel yang dirujuk menggambarkan Leba Wa'i dengan bahasa yang puitis — "seperti hujan yang membersihkan debu di pagar itu" — kita harus mengakui, bahwa setiap tradisi memiliki konteks historis yang kompleks.
Lokasi hutan Mbengan yang disebutkan sebagai bekas ladang peperangan antara suku Manus dan Kepo; mengingatkan kita, bahwa ritual ini lahir dari trauma kolektif dan upaya rekonsiliasi.
Pertanyaan kritisnya adalah: apakah ritual ini masih relevan untuk konteks masa kini, atau kita hanya mempertahankannya karena nostalgia? Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa sederhana.
Relevansi dalam Konteks Krisis Ekologi dan Sosial
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.