Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Sabtu 6 September 2025, "Yesus, Tuhan Atas Hari Sabat"

Terlebih ketika beberapa orang menjadi saksi mata. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat orang yang terduga itu sedang menyuapi anaknya

Editor: Eflin Rote
dok-pribadi
Renungan Harian Katolik berikut ditulis oleh RP. John Lewar SVD 

Renungan Harian Katolik Suara Pagi
Bersama Pastor John Lewar SVD
Biara Soverdi St. Yosef Freinademetz
STM Nenuk Atambua Timor – NTT
Sabtu, 6 September 2025
Hari Sabtu Imam
Kol. 1:21-23; Mzm. 54:3-4,6,8; Luk. 6:1-5
Warna Liturgi Hijau

Yesus, Tuhan Atas Hari Sabat

Puluhan tahun silam, ketika ekonomi bangsa ini sedang merosot drastis, pencurian marak di mana-mana, ada sebuah pengalaman yang mengharukan. Pagi-pagi benar, rumah tetangga kami dibobol pencuri.

Segala bahan makanan diambil, bahkan nasi hangat yang berada di dalam termos, diambilnya pula. Karena desa kami tidak terlalu besar, maka mudah sekali menemukan siapa yang mengambil bahan makanan tersebut.

Terlebih ketika beberapa orang menjadi saksi mata. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat orang yang terduga itu sedang menyuapi anaknya yang masih bayi dan satu lagi anaknya yang masih kecil.

Dengan bibir gemetar, bapak itu mengatakan bahwa sudah dua hari anaknya kurang makan dan istrinya pun sedang sakit. Tanpa berpikir panjang kami segera pulang dan kembali memberikan apa yang ada demi kelangsungan hidup keluarga itu (RP. Anton Rosari, SVD).

Peristiwa itu mengajar kami bahwa berhadapan dengan kasus khusus, belas kasih harus berada di atas hukum dan bukan membiarkan orang kelaparan demi hukum.

Yesus sendiri mengutip peristiwa masa lalu ketika Daud dan anak buahnya kelaparan. Mereka memakan roti sajian yang sebenarnya hanya boleh dimakan oleh para imam (1Sam. 21:1-6).

Demikian pula, apa yang diperbuat Yesus ketika membela para murid-Nya yang melanggar hukum Sabat karena lapar, kiranya menjadi dasar tindakan kita ketika berhadapan dengan situasi khusus seperti ini.

Dasarnya adalah hukum Taurat itu sendiri yang mengatakan: “Apabila engkau melalui ladang gandum sesamamu yang belum dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan tanganmu, tetapi sabit tidak boleh kau ayunkan kepada gandum sesamamu itu.” (Ul. 23: 25).

Memetik gandum dan memakannya tidak bertentangan dengan Hukum Taurat. Yang menjadi soal adalah mengapa tindakan itu dilakukan pada hari Sabat.

Orang-orang Yahudi yang taat menjalankan hukum Sabat – dari matahari terbenam Jumat petang hingga matahari terbenam Sabtu petang –menghormati Tuhan pada hari itu dengan tidak melakukan pekerjaan apa pun.

Mereka dilarang melakukan pekerjaan karena Allah sendiri juga beristirahat pada hari yang ketujuh (Kel. 20:11; Kej. 2:2-3).

Hukum Taurat yang memuat aturan tentang hari Sabat sebenarnya sudah sangat baik. Pada mulanya Sabat diciptakan agar manusia beristirahat setelah bekerja selama enam hari dan bersukacita bersama keluarganya, serta memuliakan Tuhan.

Hanya sayang, kaum Farisi yang saat itu “menduduki kursi Musa” telah menafsir sangat jauh makna Sabat ini sehingga menjadi beban banyak orang.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved