Cerpen
Cerpen: Malam yang Terputus di Km 72
Ron mendorong pintu darurat sleeper. Angin malam menusuk tulang. Di luar, bus terparkir miring di pembatas beton.
Oleh: Marianus Jefrino *
POS-KUPANG.COM -Pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari. Jalan Tol Cipali sepi, hanya sesekali lampu truk besar menyapu gelap seperti kilat pendek.
Di dalam bus malam rute Bandung–Jakarta, lampu kabin sudah dimatikan. Kebanyakan penumpang tertidur, kepala bergoyang-goyang mengikuti irama mesin diesel yang menggeram pelan.
Ostin duduk di baris kedua, dekat jendela. Ia memeluk tas kecilnya di pangkuan seperti bantal.
Perjalanan malam selalu membuatnya ngantuk berat, matanya sudah terpejam sejak bus keluar gerbang tol Cikampek.
Baca juga: Cerpen: Di Ujung Ingatan
Di mimpinya, ia sedang duduk di teras rumah kontrakannya di Cikarang, minum kopi sambil mendengar suara ibunya memanggil dari dapur. Suara itu hangat, menenangkan.
Tiba-tiba dunia jungkir.
Bunyi dentuman keras seperti petasan raksasa meledak di dalam telinga. Tubuh Ostin terangkat dari kursi, lalu terlempar ke depan sekuat tenaga. Kepalanya menghantam sandaran kursi depan, sekilas ia merasa seperti ada yang memukulnya dengan palu godam.
Gelap. Lalu terang lagi, disusul bau besi dan asap yang menusuk hidung. Ia membuka mata perlahan. Dunia miring.
Kaca depan bus sudah pecah berantakan, serpihan-serpihan kecil berkilauan di bawah lampu jalan tol yang masih menyala.
Darah hangat mengalir dari pelipisnya, menetes ke pipi, lalu ke leher. Ia mencoba bergerak, tapi badannya terasa remuk.
“Ya Tuhan…” suara lirihnya sendiri terdengar asing.
Di sekitarnya, jeritan dan tangisan bercampur jadi satu. Ada yang menangis memanggil nama anaknya, ada yang hanya mengerang tanpa suara. Ostin memegang kepalanya, lengket. Ia menatap tangannya, merah pekat.
Di bagian sleeper belakang, Ron terbangun karena tubuhnya terbanting keras ke dinding partisi. Ia sedang meringkuk di ranjang atas, selimut menutupi sampai dada.
Benturan itu seperti tangan raksasa yang mengguncang seluruh bus. Ia merangkak turun, kakinya gemetar. Lantai bus miring, sandal jepitnya entah ke mana.
“Mas! Mbak! Ada yang bisa jalan?” teriak seseorang dari depan.
Ron mendorong pintu darurat sleeper. Angin malam menusuk tulang. Di luar, bus terparkir miring di pembatas beton.
Bagian depannya sudah remuk, menyatu dengan bodi truk tangki yang terbalik. Asap hitam mengepul dari kap mesin.
Lampu hazard truk masih berkedip-kedip merah, seperti mata yang sekarat.
Ron melihat tubuh-tubuh tergeletak di aspal. Ada yang diam tak bergerak, ada yang merintih pelan.
Seorang ibu memeluk anak kecilnya, keduanya penuh darah tapi masih bernapas. Ia ingin menangis, tapi suara tak keluar.
Tiba-tiba ia teringat Ostin, mereka sempat ngobrol sebentar saat naik di terminal. Ron berlari ke arah pintu tengah bus yang sudah terbuka paksa.
Di dalam, ia melihat Ostin masih duduk di lantai lorong, memegang kepala, wajahnya pucat tapi matanya terbuka lebar.
“Os! Masih hidup lo?” Ron memapahnya keluar.
Ostin mengangguk lemah. “Lima… kayaknya lima yang nggak gerak tadi aku lihat…” suaranya serak, seperti menahan tangis.
Mereka berdua duduk di pinggir tol, bersandar ke pembatas beton yang dingin. Di kejauhan, sirene ambulans mulai terdengar, semakin dekat, semakin nyaring.
Lampu biru-merah menyapu wajah-wajah pucat para penyintas. Ron menatap langit yang masih gelap. Bintang-bintang masih di tempatnya, seolah tak peduli dunia di bawah ini baru saja retak.
“Gue cuma tidur bentar,” gumam Ostin tiba-tiba. “Bangun-bangun udah begini.
Kayak mimpi buruk, tapi nggak bangun-bangun.”
Ron tak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Ostin pelan, seolah berkata, “Kita masih hidup. Itu sudah cukup untuk malam ini.”
Di belakang mereka, petugas mulai memasang garis polisi. Nama-nama korban dipanggil satu per satu. Ada yang menjawab dengan suara lemah, ada yang selamanya diam.
Malam itu, Tol Cipali Km 72 menyimpan cerita yang tak akan pernah dilupakan.
Cerita tentang sekejap saja, hidup bisa jungkir balik. Dan tentang betapa rapuhnya kita semua di tengah laju roda-roda besar yang tak pernah kita anggap biasa. (*)
*) Marianus Jefrino, S.Fil., adalah Pencinta Sastra, Alumnus IFTK Ledalero, dan Staf Pengajar di SMA Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat.
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Marianus-Jefrino-SFil.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.