Cerpen
Cerpen: Di Ujung Ingatan
Bagaimana kami bisa belajar dari luka, bila luka itu ditutup kain putih dan diberi nama baru yang lebih manis?
Oleh: Sr. Herlina,SSpS
POS-KUPANG.COM - Jam dinding menunjukkan pukul satu siang. Ruang-ruang kelas mulai dipenuhi suara anak-anak yang bersorak kecil, bahagia karena sekolah hari itu hampir usai.
Di hati dan benak mereka, yang terbayang hanyalah rumah dan santap siang yang sudah menunggu.
Aku bergegas merapikan buku-buku di atas meja kerjaku. Sebagai guru honorer di Sekolah Dasar Inpres ini, kepulanganku selalu sederhana: berjalan cepat, menembus panas, lalu berharap ada sedikit waktu istirahat sebelum hari kembali menuntut.
Saat hendak meninggalkan ruang guru, seorang guru tua menghampiriku. Ia meminta aku duduk sebentar. Dari cara ia menatapku, aku tahu ia ingin bicara hal serius.
Baca juga: Cerpen: Dompet Mama
“Aku tidak merasa baik-baik saja akhir-akhir ini,” katanya pelan.
“Apa yang terjadi? Kenapa semuanya terasa tidak baik-baik saja?” tanyaku sambil menahan ransel di bahuku.
Ia menarik napas panjang, seakan memindahkan beban bertahun-tahun ke kursi yang didudukinya.
“Aku ini guru sejarah. Setiap hari aku mengajarkan anak-anak tentang kehebatan, tapi juga kekelaman masa lalu bangsa ini. Aku ingin mereka mengenal negeri ini apa adanya.”
Ia berhenti sejenak, menelan kegelisahan yang sulit diucap.
“Namun… ketika berita mengabarkan bahwa salah satu tokoh yang menyebabkan kekelaman itu kini disahkan sebagai pahlawan… apa yang harus aku katakan pada murid-muridku? Bagaimana aku bisa melacuri kepolosan mereka dengan dongeng fantastis tanpa bukti? Aku ingin mereka belajar sejarah, bukan cerita yang dipoles.”
Aku terdiam. Kegelisahannya adalah kegelisahanku juga. Pikiranku melayang jauh, menatap masa depan yang mungkin tumbuh tanpa akar, tanpa jejak yang jujur.
Di kepalaku terlintas sebuah bayangan: sebuah bangsa yang berjalan dengan ingatan yang terus dipangkas, dipelintir, dan diperlunak.
Masa lalu seperti berdiri jauh di belakang sana—di ujung ingatan—menunggu seseorang cukup berani untuk menoleh.
“Aku juga merasakan kegelisahan yang sama,” ujarku akhirnya.
“Meski aku tidak mengajarkan sejarah, aku merasa punya tanggung jawab yang sama untuk menjaga sebuah kenyataan.”
Ia terdiam. Raut wajahnya seperti sedang meraba-raba, mencari alasan mengapa segala ini harus berlangsung seperti sekarang.
Keriput di sudut matanya tampak lebih dalam, mungkin karena menahan kecewa yang tak selesai sejak lama.
“Kenapa kenyataan harus ditutup-tutupi?” tanyanya lirih, hampir seperti gumaman yang keluar dari seseorang yang kelelahan.
“Mengapa kita tidak berani mengakui kekejaman masa silam dan mencoba memperbaikinya?
Pengukuhan kepahlawanan ini… seolah mengatakan kepada dunia bahwa bangsa ini menjunjung tinggi tingkah kotor para pejabat yang mengatasnamakan kepentingan banyak orang, padahal semuanya demi perut mereka sendiri.”
Ia menatapku, matanya seperti retak. “Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita? Sudahkah hati nurani kita tumpul?”
Aku menelan ludah. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti batu yang menimpa dadaku.
Sebab, pertanyaan yang sama juga berkeliaran di benakku akhir-akhir ini—mencari rumah, mencari jawaban, tapi selalu pulang dengan tangan hampa.
Aku ingin menjawab. Ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan atau paling tidak memberi harapan. Tapi kata-kata itu tidak ada.
Yang ada hanya hening—hening yang terasa seperti menatap jurang yang pelan-pelan melebar.
Di luar, anak-anak tertawa. Suara sandal mereka berlari di lorong seperti dunia lain yang jauh lebih sederhana.
Dunia yang belum mengenal bagaimana ingatan bisa dihapus, dan bagaimana sebuah bangsa bisa tersesat ketika kebenaran tidak lagi dijadikan kompas.
Aku menatap guru tua itu. Dalam diam kami, aku merasa seolah sedang berdiri di antara masa lalu yang terus ditarik menjauh dan masa depan yang belum jelas bentuknya.
Dan entah kenapa, keduanya terasa sama-sama rapuh.
Kami lalu berpamitan, membawa segudang pertanyaan tanpa jawab. Aku bergegas ke rumahku, dan segera masuk ke kamar dan mengambil diaryku dan mulai menulis.
Dear God
Apa yang terjadi ketika kenyataan masa lalu berada di ujung ingatan? Apakah kami bisa benar-benar melangkah dengan sempurna di atas keretakan sejarah?
Kami mencoba berjalan, tapi tanah yang kami pijak rapuh—retak oleh penyangkalan, berlubang oleh kebohongan yang diwariskan dengan bangga.
Setiap langkah seperti menginjak bayangan sendiri, sementara ingatan yang seharusnya menuntun, malah dipaksa memudar perlahan.
Jika masa lalu disapu hingga tak bersisa, bagaimana kami dapat memahami arah pulang?
Bagaimana kami bisa belajar dari luka, bila luka itu ditutup kain putih dan diberi nama baru yang lebih manis?
Di ujung ingatan itu, kami mencari sesuatu yang sering hilang dari lidah manusia: kejujuran.
Dan kami bertanya-tanya—apakah bangsa ini sengaja dibuat lupa, atau kami sendiri yang perlahan menyerah pada kenyamanan lupa? (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.