Opini

Opini: Uskup Larantuka

Karya awal tentu tidak mudah karena harus memberikan dasar yang kuat apalagi di tengah aneka keterbatasan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ROBERT BALA
Robert Bala 

Pembentukan dan pembekalan untuk pemimpin umat sangat besar. Di tahun 70-an, awam Katolik di keuskupan ini bervariasi memimpin ibadat sabda hari Minggu secara meriah (seakan-akan ada misa) dan ibadaat kematian. 

Uskup Frans Kopong Kung, selama 21 tahun (2004-2025) menjadi uskup dan tiga tahun sebagai Koajutor tentu saja selalu berada dalam rangkaian program repelita yang sudah disain Uskup Darius. 

Ia melakukan beberapa terobosan khususnya dalam karya sosial  (termasuk sosial ekonomi seperti credit union), yang dilakukan menjawabi permasalah nyata seperti isu migrasi dan perantauan, pemberdayaan umat antara lain melalui awam Katolik yang tangguh serta advokasi lingkungan hidup dan keberlanjutan. 

Respons cepat terhadap bencana dan rekonstruksi terutama bencana banji dan letusan gunung menjadi ekspresi kepekaan sosial yang tinggi. 

Umat Diuntungkan 

Dari bingkai keuskupan ini bisa terlihat uskup seperti apa yang diharapkan di Keuskupan Larantuka. Pertama, fondasi pastoral menjadi identitas yang sangat kuat yang dibangun Uskup Darius dan Uskup Frans. 

Pijakan itu bahkan didisain terutama oleh sang arsitek, Darius Nggawa. Hal itu bisa terlihat dari penetapan uskup koajutor untuk meyakinkan bahwa arah pastoral itu benar-benar dilanjutkan dan diperdalam. 

Kedua, fondasi yang dibangun selama 51 tahun terakhir ditambah perubahan global yang sangat besar, maka tiba waktunya bagi Keuskupan Larantuka untuk melangkah lebih jauh. Hal itu pula didukung oleh tenaga-tenaga imam berkelas baik projo maupun imam biarawan. 

Paus Leo XIV tidak akan kesulitan memilih karena pimpinan Seminari Agung Ledalero dan Ritapiret saat ini dimpimpin oleh imam-imam yang dulu ditahbiskan oleh Uskup Darius Nggawa

Selain itu dosen kaliber lulusan dari University of Vienna, bahkan figur yang berkarya di Vatikan. 

Dalam kegembalaannya, Uskup Frans sangat tertopang oleh vikarisnya yang kompeten sambil tidak melupakan bahwa ketika mengarah ke gereja global (Vatikan), juga tertampil figur orang Lamaholot yang mendunia. 

Ketiga, ketidakkurangnya figur berkualitas yang bisa dilirik keuskupan Larantuka mendorong pertanyaan, siapa yang akan diuntungkan? 

Jawabannya, tentu saja umat. Umat tidak sekadar menerima begitu saja tetapi telah terbentuk skenario saat proses pemilihan yang juga melibatkan awam juga perwakilan kaum perempuan dalam mencari figur terbaik. 

Karena itu yang terpilih adalah orang pilihan yang terbaik yang dianggap pas karena tidak saja meneruskan tetapi juga mengadakan transformasi  sesuai tuntutan zaman.

Tuntutan transformasi karena bekal yang cukup tidak saja pada 51 tahun terakhir tetapi bahkan jauh sebelumnya melalui tradisi Semana Santa yang oleh Hans Manteiro, Pr dalam bukunya: Semana Santa di Larantuka, Sejarah dan Liturgi, 2020, disebut sebagai oase yang tak pernah kering. 

Semua kekayaan yang sangat mengumat dan memungkinkan uskup baru bisa berjalan bersama umat menuju tujuan yang lebih paripurna. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved