Opini

Opini: Ketika Seragam Menjadi Luka, Catatan Kritis atas Kekejian di Tubuh TNI

Kesaksian Prada Richard di persidangan menyibak kenyataan kelam bahwa tubuh TNI kini sedang tidak baik-baik saja. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YUDEL NENO
Yudel Neno 

Kasus pembunuhan Prada Lucky bukanlah sekadar penyimpangan individu, melainkan refleksi dari sistem yang gagal menyeimbangkan kekuatan fisik dan kematangan moral.

Sebagai bangsa, kita harus berani mengakui bahwa seragam negara tidak otomatis menjamin kemuliaan moral seseorang. 

Seragam bisa menjadi simbol kebanggaan, tetapi juga bisa berubah menjadi topeng jika tidak diiringi dengan integritas batin. 

Dalam hal ini, para pelaku yang kini berstatus terdakwa tidak pantas disebut prajurit, sebab mereka telah menodai makna sejati dari pengabdian. 

Mereka adalah cermin kegagalan proses seleksi dan pembinaan moral yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam institusi pertahanan negara.

TNI yang kita kenal adalah rumah besar bagi para penjaga kedaulatan, tetapi kini harus berani menghadapi kenyataan bahwa ada “penjajahan baru” di dalam tubuhnya sendiri. 

Penjajahan ini tidak lagi bersifat teritorial, melainkan moral. Ia menindas nilai-nilai luhur dengan nafsu kekuasaan dan kekejaman. 

Maka benar kiranya peringatan Soekarno: “Kita harus waspada terhadap penjajah di dalam negeri sendiri.” 

Penjajahan moral itu kini hadir dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, budaya diam terhadap kekerasan internal, dan sistem yang lebih takut pada citra daripada kebenaran.

Kekerasan terhadap Prada Lucky Namo memperlihatkan sisi paling gelap dari peradaban manusia—ketika kepekaan nurani tumpul dan solidaritas prajurit sirna. 

Mereka yang terlibat telah kehilangan jati diri sebagai manusia sebelum kehilangan kehormatan sebagai prajurit. 

Kesaksian di pengadilan yang menggambarkan betapa keji tindakan mereka, sungguh membuat hati publik teriris. 

Mereka bukan saja melanggar hukum negara, tetapi juga menista martabat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. 

Dengan kata lain, mereka telah membunuh dua kali: tubuh korban dan jiwa kemanusiaan mereka sendiri.

Dalam konteks etika publik, kasus ini menuntut dua hal penting: pertanggungjawaban hukum dan pertobatan institusional. Pertanggungjawaban hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved