Opini

Opini: Sengkarut Krisis Aura Seni di Zaman Ini

Kehadiran sebuah karya seni yang diciptakan biasanya menitip pesan, makna dan penafsiran yang berbeda. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ANTONIUS G PLEWANG
Antonius Guntramus Plewang 

Dalam era digital, karya seni dapat direproduksi tanpa batas, menghilangkan nilai langka dan eksklusif yang umumnya terhubung dengan karya asli. 

Hal ini menciptakan dilema baru dalam memahami esensi dan nilai seni.  Pengalaman estetis yang lebih mendalam kerapkali hilang dalam reproduksi yang instan.

Kedua, pengaruh politik dan kapitalistik terhadap karya seni semakin kuat di era modern. Karya seni saat ini diproduksi untuk tujuan komersial atau propaganda. 

Seni yang awalnya bertujuan untuk mengekspresikan ide atau perasaan pribadi, akhir-akhir ini terjebak dalam tuntutan pasar dan kepentingan politik. 

Dalam beberapa teori kritik atas budaya, para filsuf mengemukakan bahwa industri budaya telah mereduksi seni menjadi produk yang hanya berfungsi untuk memenuhi permintaan pasar, memanipulasi selera massa, dan memperkuat struktur kekuasaan. 

Dalam konteks ini, karya seni kehilangan nilai estetisnya dan lebih berfokus pada keuntungan finansial atau tujuan ideologis politik busuk.

Ketiga, plagiarisme dalam dunia seni yang mengacu pada tindakan meniru atau mencuri karya orang lain dan mengklaimnya sebagai karya asli. 

Dalam filsafat estetika, ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keaslian dan otentisitas dalam seni. 

Immanuel Kant dalam Critique of Judgment menekankan pentingnya penilaian estetis yang otentik dan independent (Moses, 2017), tetapi plagiarisme merusak aspek ini dengan mengabaikan kreativitas asli seniman. 

Plagiarisme tidak hanya merugikan seniman yang sah, tetapi juga merusak hubungan antara karya seni dan pengamat, karena karya yang dihasilkan tidak lagi mencerminkan ekspresi individual, melainkan merupakan tiruan tanpa nilai orisinalitas.

Tawaran Filososfi Estetis

Karya seni menjadi salah satu elemen penting yang memengaruhi dinamika peradaban manusia dan budaya. 

Seni yang diciptakan menjadi saluran pemikiran dan perasaan manusia kepada realitas di sekitarnya. 

Ironisnya, karya seni kini mengalami degradasi aura tatkala teknologi mengambil alih peradaban manusia, sistem kapitalisme dan politik berangsur-angsur melibatkan karya seni dalam permainannya, dan maraknya plagiarism yang menodai kualitas seni. 

Apabila kita menelisiknya lewat filosofi estetis, hal ini tentu menjadi kekhawatiran publik karena seni bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang monumental, melainkan layakanya material biasa yang menjadi komoditas seolah-olah karya seni itu hanya berfungsi untuk mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved