Opini

Opini: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Mengabaikan Pahlawan Masa Kini yang Masih Berjuang

Pertanyaannya sederhana, apakah gelar pahlawan dapat diberikan kepada figur yang jejaknya penuh perdebatan dan luka sejarah?

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM
PAHLAWAN NASIONAL - Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada Senin (10/11/2025). 

Oleh: Yohanes Brilian Jemadur
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Koordinator Wilayah Forum Pemuda Indonesia Emas Wilayah NTT.

POS-KUPANG.COM - Pemerintah telah menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. 

Keputusan ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang menilai Soeharto layak dihormati karena membawa stabilitas dan pembangunan pada masa pemerintahannya. 

Namun, tidak sedikit pula masyarakat, akademisi, dan pegiat demokrasi yang mempertanyakan keputusan tersebut. 

Pertanyaan yang muncul bukan sekadar soal layak atau tidak layak, tetapi tentang standar moral dan etika dalam menentukan siapa yang disebut sebagai pahlawan.

Soeharto bukan nama yang netral dalam perjalanan bangsa. Ia adalah figur yang penuh kontroversi. 

Baca juga: 30 Lembaga Internasional Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Di satu sisi, Orde Baru dikenal membawa pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan berbagai program yang dianggap berhasil menggerakkan roda pemerintahan. 

Namun di sisi lain, periode tersebut juga meninggalkan catatan kelam. Terjadi pembatasan kebebasan berpendapat, pengendalian pers, penahanan terhadap lawan politik, dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang hingga kini masih menyisakan trauma bagi sebagian korban dan keluarga korban. 

Lembaran sejarah juga mencatat kasus dugaan korupsi yang menyeret nama Soeharto dan keluarganya, yang bahkan pernah menjadi pembahasan resmi di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pertanyaannya sederhana, apakah gelar pahlawan dapat diberikan kepada figur yang jejaknya penuh perdebatan dan luka sejarah?

Ketika negara mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, masyarakat seakan diminta untuk melupakan sejarah yang menyakitkan tersebut. 

Publik didorong untuk hanya melihat sisi keberhasilan, tetapi mengabaikan sisi lain yang menyangkut demokrasi dan hak asasi manusia. 

Pahlawan seharusnya menjadi figur yang hampir tak terbantahkan keteladanan dan integritasnya. 

Ketika nama yang diangkat justru penuh kontroversi, gelar itu kehilangan nilai luhur dan berubah menjadi sekadar penghargaan simbolik yang sarat kepentingan politik.

Ironisnya, pemberian gelar ini dilakukan ketika negara masih abai terhadap banyak “pahlawan masa kini” yang hidup dalam keterbatasan.

Di sekitar kita, ada begitu banyak orang yang berjasa bagi negeri, bukan dalam narasi besar sejarah, tetapi dalam realitas kehidupan sehari-hari. 

Di desa-desa, guru honorer mengajar puluhan anak dengan gaji di bawah standar. Mereka tetap datang setiap hari, meski harus berjalan jauh. 

Di pelosok, tenaga kesehatan bertugas tanpa fasilitas memadai. Mereka bukan hanya merawat, tetapi juga menjadi penggerak perubahan sosial. 

Di kota-kota besar, para pekerja informal seperti pengemudi ojek, buruh harian, hingga petani dan nelayan bekerja keras agar roda ekonomi tetap berjalan. 

Ada juga aktivis yang menghadapi ancaman kriminalisasi ketika memperjuangkan hak hak rakyat. Mereka sejatinya adalah pahlawan yang sebenarnya.

Mereka tidak memiliki kekuasaan. Mereka tidak memiliki akses politik. Mereka tidak pernah meminta gelar. Namun mereka bekerja dalam diam, memastikan bangsa ini tetap hidup.

Sementara itu, negara justru sibuk mengangkat kembali tokoh yang pernah berada di lingkaran kekuasaan. 

Seolah gelar pahlawan hanya milik mereka yang pernah duduk di kursi istana atau dekat dengan kekuasaan. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang saat ini berjuang keras? Mengapa mereka tidak pernah dilihat?

Jika negara ingin memberikan penghargaan kepada para pahlawan, seharusnya dimulai dengan menjamin kesejahteraan mereka yang masih hidup dan terus berjuang. 

Guru honorer membutuhkan kepastian status, bukan sekadar upacara seremoni Hari Pahlawan. 

Tenaga kesehatan di daerah terpencil membutuhkan fasilitas yang layak, bukan piagam. 

Petani dan nelayan membutuhkan harga yang adil untuk hasil kerja mereka, bukan slogan-slogan motivatif yang tidak menyelesaikan masalah.

Pahlawan bukan hanya mereka yang tercatat dalam buku sejarah atau yang foto-fotonya terpajang di dinding museum. 

Pahlawan adalah mereka yang setiap hari memberi kontrubusi nyata bagi bangsa, meski namanya tidak pernah disebut dalam pidato kenegaraan.

Gelar pahlawan seharusnya menjadi simbol kehormatan, bukan sekadar alat pencitraan atau rekonsiliasi sejarah yang dipaksakan. 

Mengangkat sosok yang penuh perdebatan justru mengaburkan pesan moral di balik gelar tersebut. 

Penghormatan terhadap pahlawan seharusnya dilakukan dengan menegakkan nilai kejujuran, keberanian, dan pengabdian, bukan dengan menutup mata terhadap fakta sejarah.

Jika negara benar-benar ingin menghormati pahlawan, lakukan dengan cara yang paling sederhana dan paling berarti: hadir dalam kehidupan mereka. 

Memastikan mereka hidup layak. Memastikan perjuangan mereka tidak sia-sia.

Karena pada akhirnya, gelar tidak membuat seseorang menjadi pahlawan. Yang membuat seseorang menjadi pahlawan adalah tindakan, pengorbanan, dan keberpihakannya pada rakyat. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved