Breaking News

Opini

Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh

Bila hukum dijalankan tanpa empati, ia kehilangan fungsi mendidiknya dan berubah menjadi tekanan.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI VITALIS WOLO
Vitalis Wolo 

Oleh: Vitalis Wolo
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Disiplin adalah napas kehidupan militer. Ia menuntut ketaatan tanpa ragu, loyalitas tanpa syarat, dan penghormatan mutlak terhadap perintah. 

Namun disiplin yang kehilangan roh keadilan mudah berubah menjadi alat kekuasaan. 

Di situlah letak perbedaan antara tentara yang menjunjung kehormatan dan tentara yang sekadar tunduk pada sistem.

Kasus Pelda Chrestian Namo di Rote Ndao memperlihatkan kembali ketegangan itu. 

Ia bukan sekadar prajurit yang diduga melanggar aturan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sah. 

Baca juga: Dua Saksi Tambahan akan Dihadirkan di Sidang Lanjutan Prada Lucky Namo

Ia adalah ayah dari almarhum Prada Lucky Chepril Saputra Namo — prajurit muda yang tewas tragis di lingkungan Yonif 834/Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT. 

Peristiwa itu mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem komando di tubuh TNI. 

Maka ketika Pelda Chrestian dilaporkan ke Denpom IX/1 Kupang pada 6 November 2025, banyak yang sulit mempercayai bahwa waktunya kebetulan.

Kodam IX/Udayana melalui Kapendam Kolonel Inf Widi Rahman menyatakan bahwa pelaporan ini “murni karena pelanggaran disiplin, tidak ada kaitan dengan kasus lain.” 

Pernyataan itu sah secara hukum, namun tidak mudah diterima secara sosial. 

Hukum tidak pernah berdiri di ruang hampa; ia selalu hidup dalam konteks sosial dan moral. 

Maka, pertanyaannya: apakah langkah ini sungguh penegakan disiplin, atau bentuk tekanan terhadap keluarga yang belum selesai berduka?

Dasar hukum untuk tindakan disiplin memang jelas. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI menegaskan bahwa setiap prajurit wajib menaati tata kehidupan militer, menjaga kehormatan pribadi dan institusi. 

Pelanggaran terhadap norma kehidupan seperti hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sah dapat dikenai sanksi. 

Ketentuan ini diperkuat oleh Surat Telegram Panglima TNI No. ST/398/VII/2009 dan Keputusan Kasad No. Kep/330/IV/2018, yang menekankan pentingnya keteladanan moral di kalangan prajurit.

Namun, hukum yang dijalankan tanpa kepekaan waktu dan suasana sosial akan kehilangan makna keadilannya. 

Dalam situasi publik yang masih berduka atas kematian Prada Lucky, pelaporan terhadap ayah korban — betapapun sah — mudah dibaca sebagai langkah yang terburu-buru, bahkan represif.

Letjen (Purn.) Agus Widjojo, mantan Gubernur Lemhannas, pernah mengingatkan bahwa penegakan hukum militer harus berorientasi pada pembinaan, bukan ketakutan. 

“Tujuan hukum militer bukan untuk menakut-nakuti prajurit, tetapi untuk menjaga kehormatan institusi,” ujarnya. 

Bila hukum dijalankan tanpa empati, ia kehilangan fungsi mendidiknya dan berubah menjadi tekanan.

Dalam tradisi militer modern, disiplin dipahami sebagai kesadaran moral yang tumbuh dari kepemimpinan teladan. 

Jenderal George Marshall menulis, “Hati dan jiwa prajurit adalah segalanya. Tanpa keadilan yang menjaga jiwanya, prajurit akan gagal — bagi dirinya dan negaranya.” 

Kalimat itu menunjukkan bahwa keandalan militer bergantung bukan pada kerasnya hukuman, tetapi pada adilnya perlakuan.

Filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) pernah menyinggung bahwa kekuasaan sering bersembunyi di balik wacana ketertiban. 

Ketika disiplin tidak diimbangi dengan moralitas, ia berubah menjadi alat pengawasan yang menekan kemanusiaan. 

Di titik itu, keadilan kehilangan wajahnya dan ketertiban menjadi semata-mata alat kontrol.

Dalam konteks hukum nasional, Pasal 13 huruf (c) UU No. 26 Tahun 1997 memberi hak pembelaan bagi setiap prajurit yang diperiksa atas dugaan pelanggaran disiplin. 

Hak ini meliputi kesempatan memberi keterangan dan pembelaan diri sebelum hukuman dijatuhkan. 

Pertanyaan yang wajar muncul: apakah hak ini benar-benar diberikan kepada Pelda Chrestian? 

Apakah prosesnya transparan dan berimbang, atau hanya formalitas dalam sistem tertutup?

Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, kasus ini menyentuh ranah yang lebih dalam dari sekadar hukum. 

Di Rote, Kupang, dan Nagekeo, prajurit bukan sosok jauh. Mereka bagian dari kehidupan sosial — ikut dalam ibadat, pesta, dan kerja bersama. 

Maka, ketika seorang anak bangsa gugur dalam keadaan yang belum terang, masyarakat menunggu sikap moral dari institusinya. 

Mereka tidak menuntut simpati, tetapi kejujuran. Karena itu, tindakan terhadap ayah korban — betapapun sah secara hukum — terasa mengusik nurani bersama.

TNI sebagai kekuatan rakyat seharusnya membaca suasana batin publik ini sebagai kesempatan untuk meneguhkan sisi kemanusiaannya. 

Dalam banyak kesempatan, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan, “TNI bersama rakyat, bukan di atas rakyat.” 

Prinsip itu baru hidup jika rasa keadilan rakyat ikut menjadi ukuran setiap keputusan hukum militer.

Pelda Chrestian hanyalah satu prajurit di antara ribuan lainnya. Namun kasusnya kini menjadi cermin bagi institusi: apakah TNI sanggup menegakkan disiplin tanpa menimbulkan kesan pembalasan terhadap suara keadilan? 

Mampukah ia menunjukkan empati tanpa mengorbankan wibawa komando? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan menentukan arah moral militer Indonesia ke depan.

Transparansi menjadi kata kunci. TNI tidak perlu takut membuka sebagian proses pemeriksaan kepada publik. 

Dalam demokrasi, keterbukaan bukan ancaman terhadap kehormatan, melainkan jaminan bahwa kehormatan itu sungguh ada. 

Bila prosesnya benar, tidak ada yang perlu disembunyikan. Sebaliknya, langkah tertutup justru memunculkan kecurigaan dan melemahkan kepercayaan.

Lebih jauh, pembenahan kultur hukum di tubuh TNI jauh lebih penting daripada sekadar menjatuhkan sanksi. 

Militer perlu berani mengakui bahwa ketimpangan dalam penegakan disiplin menimbulkan ketakutan di dalam dan kecurigaan di luar. 

Disiplin yang dijalankan secara adil justru memperkuat loyalitas, karena prajurit yakin bahwa negara tidak menghukum tanpa mendengar.

Banyak militer modern kini bergerak ke arah human-centered military force — menempatkan kesejahteraan dan martabat prajurit sebagai dasar kekuatan. 

Inggris, Jepang, dan Australia sudah melangkah ke sana dengan sistem keadilan internal yang lebih terbuka dan melibatkan unsur sipil. Indonesia seharusnya belajar ke arah itu. 

Sebab keadilan yang diabaikan selalu menjadi bom waktu bagi kehormatan institusi.

TNI memiliki sejarah panjang sebagai benteng bangsa, tetapi juga warisan luka di mata rakyat. 

Setiap peristiwa seperti kematian Prada Lucky menjadi ujian moral: apakah TNI belajar dari masa lalu, atau mengulanginya dalam bentuk yang lebih halus. 

Jalan yang diambil kini akan menentukan apakah TNI benar-benar menjadi kekuatan yang profesional dan beradab, atau terjebak dalam logika lama yang melihat kritik sebagai ancaman.

Keadilan bukan hanya soal siapa benar atau salah, tetapi bagaimana kebenaran dicari dan disampaikan. 

Jika langkah terhadap Pelda Chrestian dilakukan tanpa kepekaan terhadap luka sosial, yang rusak bukan hanya nama satuan, tetapi juga kepercayaan rakyat. 

Dalam masyarakat demokratis, kehilangan kepercayaan publik jauh lebih berbahaya daripada kehilangan senjata.

Sebaliknya, bila TNI mampu menunjukkan bahwa disiplin ditegakkan dengan empati dan hukum dijalankan dengan kemanusiaan, maka peristiwa ini bisa menjadi titik balik. 

Kematian Prada Lucky tidak akan sia-sia bila membuka jalan bagi kesadaran baru tentang pentingnya justice with humanity di tubuh militer Indonesia.

Bangsa ini tidak menuntut tentara yang sempurna, hanya tentara yang jujur dan adil. 

Jenderal Sudirman pernah berkata, “Tentara bukan untuk ditakuti rakyat, melainkan untuk melindungi rakyat.” 

Kalimat itu kini terdengar sebagai panggilan moral — bahwa kehormatan sejati bukan pada kepatuhan membuta, melainkan pada keberanian menegakkan keadilan, bahkan ketika keadilan itu menuntut kejujuran dari dalam tubuh sendiri. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved