Breaking News

Opini

Opini: Paradoks NTT, Pengangguran Rendah Kemiskinan Tinggi

Pada Februari tahun 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT sebesar 3,23 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 4,76 persen. 

|
Editor: Dion DB Putra
FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Artinya, jumlah masyarakat yang bekerja tanpa menerima upah hampir setara dengan mereka yang bekerja di sektor formal dan memperoleh upah tetap. 

Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar tenaga kerja di NTT masih menggantungkan hidup pada pola kerja berbasis keluarga, terutama di sektor pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan yang mendominasi struktur ekonomi NTT. 

Pekerja keluarga atau pekerja yang tidak dibayar memang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan ekonomi rumah tangga, namun konstribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan relatif terbatas dibandingkan mereka yang bekerja di sektor berupah tetap. 

Dalam kerangka statistik ketenagakerjaan, mereka tetap tercatat sebagai pekerja, meski aktivitasnya belum menghasilkan nilai tambah yang signifikan sebesar industri lain, seperti pengolahan, jasa, dll.

Di Nusa Tenggara Timur, bekerja di sektor pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari identitas kebiasaan masyarakat. 

Aktivitas ini telah menjadi tradisi turun-temurun yang melekat dalam kehidupan keluarga. 

Bahkan, pegawai negeri sipil (PNS) yang keluarganya petani, nelayan, peternak atau peramu hasil hutan pun kerap terlibat membantu usaha keluarga di sela waktu luangnya. 

Namun, keterbatasan pendidikan, akses teknologi dan kesempatan bekerja di luar sektor primer membuat keluarga sulit keluar dari pola kerja tradisional ini. 

Bagi sebagian besar masyarakat, bekerja di sektor tersebut bukan lagi pilihan, melainkan bentuk keterikatan sosial dan budaya, serta satu-satunya cara untuk mempertahankan penghidupan. 

Akibatnya, banyak rumah tangga terjebak dalam “zona nyaman ekonomi subsisten: bekerja untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual atau menambah nilai ekonomi”, di mana aktivitas kerja tinggi tetapi produktivitas dan pendapatan relatif rendah. 

Kondisi tersebut menjelaskan mengapa angka pengangguran tampak rendah, meskipun kualitas dan kelayakan pekerjaan masih menjadi persoalan. 

Fenomena ini sejalan dengan temuan Ramos dkk. (2013) dalam jurnal Mapping Inclusive Growth, yang menunjukkan bahwa banyak wilayah miskin memiliki tingkat partisipasi kerja tinggi bukan karena lapangan kerja produktif yang tersedia luas, melainkan karena keterpaksaan ekonomi untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. 

Kalimat yang sering terdengar di masyarakat desa di NTT “yang penting ada kerja sa dulu, meski hasilnya kecil.” 

Ungkapan sederhana ini menggambarkan realitas kerja sekadar untuk bertahan, bukan untuk berkembang dan sejahtera.

Namun dibalik tantangan ekonomi dan rendahnya kualitas pekerjaan, masyarakat NTT sejatinya menyimpan potensi sumber daya manusia yang luar biasa. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved