Opini
Opini: Menjaga Demokrasi Kampus dari Politik Zero-Sum Game
Rektor terpilih bukan representative of a faction, melainkan guardian of the institution, penjaga martabat universitas di atas semua kepentingan.
Begitu pula menteri yang memegang 35 persen suara, ia bukan ancaman bagi otonomi, melainkan penyeimbang akuntabilitas publik.
Keduanya, senat dan pemerintah, hanya akan seimbang bila diikat oleh satu nilai: deliberasi.
Tanpa deliberasi, keputusan menjadi mekanis; dengan deliberasi, keputusan menjadi bermoral.
Ki Hadjar Dewantara pernah menulis, “Pemimpin yang sejati tidak hanya memerintah, tetapi mendengar.”
Itulah esensi demokrasi akademik: kemampuan mendengar yang melampaui keinginan untuk didengar.
Rektor baru harus segera mengubah zero-sum mindset menjadi shared-sum mindset: semangat menang bersama, bukan menang sendiri.
Rekonsiliasi bukan tanda kelemahan, melainkan kematangan moral. Karena di universitas, kekuatan bukan diukur dari penguasaan atas kursi, melainkan kemampuan menjaga kursi itu tetap menjadi ruang percakapan.
Menang Tanpa Mengalahkan: Demokrasi sebagai Percakapan, Bukan Pertarungan
Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) bukan sekadar rutinitas administratif lima tahunan, tetapi cermin peradaban berpikir di dalam kampus.
Di ruang inilah kita diuji: apakah demokrasi kampus masih menjadi ruang deliberatif yang rasional dan terbuka, atau telah berubah menjadi zero-sum game yang sarat kecurigaan.
Demokrasi sejati, seperti diajarkan Paulo Freire, adalah ruang dialog dan pembebasan, bukan arena saling menyingkirkan.
Maka, pemilihan rektor seharusnya menjadi forum percakapan moral, tempat senat, menteri, dan sivitas akademika berbicara dalam bahasa kejujuran, mendengarkan, menimbang, dan merangkul perbedaan sebagai sumber kebijaksanaan.
Sebagai universitas di jantung timur Indonesia, Undana memikul tanggung jawab simbolik untuk menjadi mercusuar etika akademik di tengah pragmatisme birokrasi pendidikan tinggi.
Rektor terpilih tidak diminta sekadar menang, tetapi menjadi penjaga percakapan, penuntun moral yang memimpin dengan nurani.
Karena demokrasi kampus sejati tidak lahir dari jumlah suara, melainkan dari kedalaman dialog dan semangat rekonsiliasi.
Bila Undana mampu melampaui jebakan zero-sum game, ia tidak hanya memilih pemimpin baru, tetapi menegakkan martabat lama yang kian langka, bahwa berpikir bersama selalu lebih mulia daripada menang sendirian. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
| Opini: Saat Komunikasi Publik Menjadi Kunci Layanan Kesehatan Daerah |
|
|---|
| Opini: Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC |
|
|---|
| Opini: Neka Hemong Kuni agu Kalo- Salinan Kerinduan dalam Mimbar Filosofis |
|
|---|
| Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada |
|
|---|
| Opini: Satu Data untuk Kemajuan Nusa Tenggara Timur |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Yoga-Bumi-Pradana.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.