Breaking News

Opini

Opini: Menjaga Demokrasi Kampus dari Politik Zero-Sum Game

Rektor terpilih bukan representative of a faction, melainkan guardian of the institution, penjaga martabat universitas di atas semua kepentingan.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI I PUTU YOGA B PRADANA
I Putu Yoga Bumi Pradana 
Ringkasan Berita:
  • Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang periode 2025–2029 kini memasuki babak penting. Tiga calon bersaing ketat.
  • Universitas sejatinya adalah laboratorium kebijaksanaan: tempat perbedaan disintesiskan melalui percakapan rasional. 
  • Jika politik kampus hanya dilihat sebagai perebutan posisi, Undana berisiko kehilangan ruh intelektualnya. 
  • Energi yang seharusnya digunakan untuk riset dan inovasi justru terkuras untuk memenangkan kubu.

 

Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana 
Dosen Pada Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana, Alumni Program Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM

POS-KUPANG.COM - Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang periode 2025–2029 kini memasuki babak penting. 

Dari hasil Rapat Senat Tertutup pada 25 September 2025, tiga nama resmi ditetapkan: Prof. Dr. Ir. Apris A. Adu, S.Pt., M.Kes.; Prof. Dr. Ir. Jefri S. Bale, S.T., M.Eng.; dan Prof. Dr. Drs. Malkisedek Taneo, M.Si. 

Hasil pemungutan suara 25–24–6 menunjukkan ketatnya kompetisi sekaligus keseimbangan kekuatan di dalam senat.

Namun di balik angka-angka itu, tersimpan tantangan besar bagi dunia akademik: kecenderungan melihat demokrasi kampus sebagai zero-sum game, sebuah permainan dengan logika “aku menang, maka kamu kalah”. 

Baca juga: Apris Adu, Jefri Bale dan Melki Taneo  Lolos Penjaringan Calon Rektor Undana

Logika ini berbahaya, karena memindahkan semangat politik elektoral ke ruang pendidikan yang seharusnya mengedepankan nalar, bukan naluri kuasa.

John Dewey mengingatkan, demokrasi sejati adalah “a mode of associated living,” cara hidup bersama di mana percakapan dan kerja sama menjadi jantungnya. 

Bila kampus kehilangan ruang dialog deliberative, yaitu ruang untuk mendengar, menimbang, dan menyesuaikan diri satu sama lain, maka demokrasi kehilangan maknanya. 

Ia menjadi prosedural, kering, dan penuh rasa curiga.

Universitas sejatinya adalah laboratorium kebijaksanaan: tempat perbedaan disintesiskan melalui percakapan rasional. 

Jika politik kampus hanya dilihat sebagai perebutan posisi, Undana berisiko kehilangan ruh intelektualnya. 

Energi yang seharusnya digunakan untuk riset dan inovasi justru terkuras untuk memenangkan kubu.

Ketika Kompetisi Menjadi Cermin Kuasa

Kompetisi memang bagian dari peradaban akademik; ia menguji gagasan, mengasah intelektualitas, dan memacu inovasi. 

Tetapi di ruang pendidikan, kompetisi tanpa kesadaran etik berubah menjadi cermin kekuasaan. 

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan, pendidikan sejati bukanlah kontestasi dominasi, melainkan dialog untuk pembebasan.

Ketika logika politik masuk ke ruang senat, risiko yang muncul adalah hilangnya substansi: ide digantikan intrik, dan prinsip digantikan taktik. 

Universitas, yang seharusnya menjadi arena deliberasi nalar, berubah menjadi panggung lobi dan kalkulasi suara. 

Dalam situasi semacam ini, kita seperti sedang menonton drama demokrasi yang kehilangan naskahnya.

Di sinilah pentingnya dialektika antara kompetisi dan kolaborasi. Kompetisi menyalakan bara semangat, tetapi kolaborasi menjaga bara itu agar tidak membakar rumahnya sendiri. 

Tanpa kolaborasi, kompetisi melahirkan perpecahan; tanpa kompetisi, kolaborasi menjadi lesu dan stagnan.

Rumus sederhana dapat menggambarkan paradoks ini: D = (K – P) + R

(Demokrasi yang sehat = Kompetisi dikurangi Polarisasi, lalu ditambah Rekonsiliasi)

Rumus ini bukan sekadar simbol matematis, melainkan refleksi moral. Di mana ada polarisasi, energi akademik tersedot untuk bertahan; tetapi di mana ada rekonsiliasi, energi itu tumbuh untuk membangun. 

Persamaan ini sederhana, namun pelaksanaannya menuntut kebesaran hati.

Rekonsiliasi sebagai Jalan Etis Menuju Leader For All

Pemilihan rektor yang demokratis pasti menghadirkan perbedaan. Tetapi perbedaan tidak harus berujung pada permusuhan. 

Setelah kontestasi berakhir, langkah paling penting bukan mengklaim kemenangan, tetapi memulihkan kepercayaan. 

Rektor terpilih bukan representative of a faction, melainkan guardian of the institution, penjaga martabat universitas di atas semua kepentingan.

Rekonsiliasi menjadi kunci etis untuk mengembalikan Undana pada watak aslinya: rumah dialog, bukan arena duel. 

Dalam konteks ini, senat universitas tidak sekadar forum politik, tetapi penjaga nilai akademik. 

Begitu pula menteri yang memegang 35 persen suara, ia bukan ancaman bagi otonomi, melainkan penyeimbang akuntabilitas publik.

Keduanya, senat dan pemerintah, hanya akan seimbang bila diikat oleh satu nilai: deliberasi. 

Tanpa deliberasi, keputusan menjadi mekanis; dengan deliberasi, keputusan menjadi bermoral. 

Ki Hadjar Dewantara pernah menulis, “Pemimpin yang sejati tidak hanya memerintah, tetapi mendengar.” 

Itulah esensi demokrasi akademik: kemampuan mendengar yang melampaui keinginan untuk didengar.

Rektor baru harus segera mengubah zero-sum mindset menjadi shared-sum mindset: semangat menang bersama, bukan menang sendiri. 

Rekonsiliasi bukan tanda kelemahan, melainkan kematangan moral. Karena di universitas, kekuatan bukan diukur dari penguasaan atas kursi, melainkan kemampuan menjaga kursi itu tetap menjadi ruang percakapan.

Menang Tanpa Mengalahkan: Demokrasi sebagai Percakapan, Bukan Pertarungan

Pemilihan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) bukan sekadar rutinitas administratif lima tahunan, tetapi cermin peradaban berpikir di dalam kampus. 

Di ruang inilah kita diuji: apakah demokrasi kampus masih menjadi ruang deliberatif yang rasional dan terbuka, atau telah berubah menjadi zero-sum game yang sarat kecurigaan. 

Demokrasi sejati, seperti diajarkan Paulo Freire, adalah ruang dialog dan pembebasan, bukan arena saling menyingkirkan. 

Maka, pemilihan rektor seharusnya menjadi forum percakapan moral, tempat senat, menteri, dan sivitas akademika berbicara dalam bahasa kejujuran, mendengarkan, menimbang, dan merangkul perbedaan sebagai sumber kebijaksanaan.

Sebagai universitas di jantung timur Indonesia, Undana memikul tanggung jawab simbolik untuk menjadi mercusuar etika akademik di tengah pragmatisme birokrasi pendidikan tinggi. 

Rektor terpilih tidak diminta sekadar menang, tetapi menjadi penjaga percakapan, penuntun moral yang memimpin dengan nurani. 

Karena demokrasi kampus sejati tidak lahir dari jumlah suara, melainkan dari kedalaman dialog dan semangat rekonsiliasi. 

Bila Undana mampu melampaui jebakan zero-sum game, ia tidak hanya memilih pemimpin baru, tetapi menegakkan martabat lama yang kian langka, bahwa berpikir bersama selalu lebih mulia daripada menang sendirian. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved