Opini
Opini: Kawasan Ekonomi Khusus untuk Siapa?
Tulisan ini tidak berpretensi menempatkan KEK sebagai spesies terlarang dalam kebijakan pembangunan daerah atau negara.
Oleh: John Petrus Talan
Peneliti IRGSC Kupang, Kandidat PhD Bidang Development Planning di University College London (UK)
POS-KUPANG.COM - Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dapat menjadi sarana mencapai pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bisa melahirkan berbagai masalah multidimensi dan berkepanjangan jika salah desain dan salah urus.
Pengalaman dari berbagai penjuru dunia menunjukan KEK bisa menjadi sebuah instrumen yang efektif dalam mempromosikan industrialisasi dan transformasi struktural akan tetapi dengan catatan hanya jika diimplementasikan dalam konteks yang tepat.
Oleh karena itu, usulan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, kepada pemerintah pusat agar menjadikan kawasan perbatasan RI-RDTL di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai KEK sejak awal harus tepat dan jernih dalam konteks.
Baca juga: Opini: Sumpah Pemuda 97 Tahun, Mengulang Satu dari Jalan Kramat ke Jalan Desa
Ketiga titik perbatasan yang diusulkan gubernur NTT (Motaain, Motamasin, dan Napan) menjadi KEK perlu secara spesifik dikaji untuk memetakan karakteristik masing-masing dari berbagai aspek terkait keunggulan, tantangan beserta hambatan struktural yang berpontesi dihadapi.
Jika tidak, dapat dibayangkan KEK yang diusulkan pada Forum Koordinasi Pembangunan Wilayah Berbasis Tata Ruang Bali-Nusra (Senin, 21/10/2025) menggunakan berbagai klaim-klaim makro dan dengannya fiktif tentang keharusan (the state of necessity) KEK sebagai respons terhadap keadaan mendesak (the state of urgency) tanpa kajian yang memadai terhadap konteks sosio-spasial dan perencanaan detil berbasis eksperimentasi kebijakan.
Mobilisasi narasi fiktif ini telah menjadi salah satu strategi dominan dalam pembangunan KEK dan juga proyek-proyek infrastruktur berskala besar di seluruh dunia untuk melegitimasi penggunaan langkah pengecualian (exceptionality) sebagai jalan pintas atas perencanaan cermat dan prosedur hukum yang berlaku.
Jika proses ini yang terjadi, maka dipertanyakan KEK yang diusulkan untuk siapa?
Tulisan ini tidak berpretensi menempatkan KEK sebagai spesies terlarang dalam kebijakan pembangunan daerah atau negara.
Sebaliknya, penulis memandang KEK dan model pembangunan sejenisnya bisa menjadi inovasi tata kelola penting dari Provinsi NTT jika dikembangkan berbasis pada studi empirik untuk meletakan konteks dasar pada masing-masing kawasan secara jernih, eskperimentasi pada skala mikro yang diperluas, perencanaan yang cermat, desain kelembagaan yang inklusif dan memasukan kepentingan warga dan serta otoritas lokal dalam desain setiap KEK yang akan dikembangkan.
Namun, proses semacam ini memang hanya bisa dikerjakan para pemimpin visioner, bukan pemimpin yang sekedar mengikuti gerak arus modal dan menjadi obyek propaganda paradigma pembangunan neoliberal semata.
Mengenali KEK
KEK atau kawasan industri semakin menjamur di seluruh dunia. Konsep dasar KEK mencakup beberapa karakteristik khusus antara lain merupakan area yang dibatasi secara geografis, memiliki rezim pengaturan khusus atau administrasi tunggal, menawarkan fasilitas infrastruktur bagi investor secara fisik di dalam kawasan yang lebih baik dibanding lingkungan sekitarnya, dan mendapatkan fasilitas keringanan pajak atau insentif fiskal serta prosedur yang disederhanakan (FIAS, 2008).
Aspek krusial KEK adalah beroperasi di luar peraturan dan kebijakan yang secara umum berlaku dan terpisah dari lansekap serta otoritas lokal di mana mereka berada.
Dalam praktiknya, istilah KEK (special economic zones) mencakup variasi besar berbagai macam kawasan, seperti kawasan perdagangan bebas, kawasan pemrosesan ekspor, kawasan industri, kawasan pengembangan ekonomi dan teknologi, dll.
KEK biasanya didirikan dengan sejumlah argumentasi utama sebagai tujuan yang didefenisikan sebagai kepentingan publik.
Misalnya untuk menarik investasi asing secara langsung, mempromosikan ekspor dan industrialisasi; mengurangi pengangguran skala besar, dan mendukung strategi reformasi ekonomi yang lebih luas. Ini kerangka yang direplikasi di seluruh dunia ketika suatu KEK direncanakan dan akan dibangun.
Di Indonesia, KEK didefenisikan sebagai kebijakan strategis pemerintah yang dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi nasional, mendukung industrialisasi, dan meningkatkan lapangan kerja di Indonesia.
Pada website resmi pemerintah (https://kek.go.id/id) dicantumkan bahwa KEK ini dibentuk untuk menyediakan insentif tertinggi yang dapat ditawarkan kepada investor domestik dan asing.
Desain KEK di tingkat nasional secara dominan menekankan peran negara memfasilitasi pasar dan mementingkan kepentingan investor untuk berinvestasi.
Kepentingan warga dan otoritas lokal tidak muncul dalam penjelasannya.
Sebagai akibat, tidak aneh jika pembangunan KEK sering dilakukan dengan melibatkan perampasan lahan, pengabaian hak-hak warga lokal, dan mengakibatkan degradasi lingkungan yang kemudian ditekan dengan narasi tentang pertumbuhan ekonomi lokal dan regional atas nama kepentingan publik.
Kepentingan publik umumnya tidak dijelaskan secara detil. Polemik proyek kereta cepat Whoosh (KCIC) saat ini membuka bagaimana pola semacam ini dimobilisasi.
Meskipun populer, banyak KEK di seluruh dunia gagal mencapai tujuan. Upaya untuk menjadikan wilayah-wilayah perbatasan antar negara di NTT sebagai KEK perlu dilakukan dengan menentukan tujuan yang tidak hanya menguntungkan pihak investor dan elit politik tetapi juga bagi kepentingan warga lokal dan pemerintah daerah setempat.
Perencanaan Cermat
Berbagai evaluasi atas keberhasilan kawasan-kawasan KEK di dunia terutama di Asia Timur mengungkapkan sebuah syarat mutlak, perencanaan yang cermat.
Tiongkok paling sukses memanfaatkan KEK untuk mencapai transformasi ekonomi yang luas. Kisah keberhasilan Tiongkok memanfaatkan zona yang ditargetkan secara spasial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lokal tidak terjadi secara tiba-tiba.
KEK di Tiongkok mulai diekperimentasikan sejak akhir 1970-an dimana Dewan Negara Tiongkok menyetujui eksperimen KEK skala kecil di empat kota terpencil di selatan: Shenzhen, Zhuhai, dan Shantou di Provinsi Guangdong, serta Xiamen di Provinsi Fujian.
Zona-zona tersebut menjadi basis uji coba sebelum akhirnya secara resmi menetapkan peraturan pertama untuk KEK Guangdong.
Percobaan ini dirancang dan diamati secara hati-hati oleh para ahli lintas skala pemerintahan yang kemudian secara perlahan diperluas ke provinsi lain untuk diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan konteks lokal masing-masing.
Penentuan KEK di Tiongkok pada periode awal tidak secara acak. Investasi asing dibuka secara bertahap.
Dinamika kekuasaan dan pembagian kewenangan antara tingkat pemerintahan diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang relevan berbasis karakteristik wilayah; perdesaan, perkotaan, wilayah pesisir, wilayah sungai, perbatasan, dan pedalaman.
Karakter pengembangan KEK di Tiongkok mencerminkan kombinasi strategi eksperimentasi untuk meraih keberhasilan awal pada skala kecil, yang kemudian diperluas melalui berbagai instrumen kebijakan serta dukungan infrastruktur yang tepat.
Hanya setelah keberhasilan eksperimen awal terkonfirmasi, program KEK dan reformasi terkait secara bertahap diterapkan secara nasional.
Pendekatan ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, penciptaan lapangan kerja, ekspor, serta daya tarik investasi asing.
Pada hakikatnya, KEK dapat berfungsi sebagai strategi pembangunan yang efektif apabila didukung oleh akumulasi pengetahuan dan kapasitas teknis, yang diperoleh melalui berbagai kajian empiris serta didukung oleh eksperimen skala kecil yang diperluas seiring dengan penguasaan pengetahuan dan rasionalitas yang matang.
Dengan demikian, KEK dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan, bukan sekadar menjadi zona unggulan bagi kepentingan investor, tetapi sekaligus menghindari dampak negatif terhadap masyarakat dan otoritas lokal.
Implementasi KEK memerlukan tidak hanya tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi juga desain dan kebijakan tata kelola yang tepat, yang secara cermat mempertimbangkan kondisi lokal guna memaksimalkan partisipasi serta kontribusi dari seluruh pemangku kepentingan.
Hanya melalui proses cermat dan terbuka, KEK hadir sebagai inisiatif pembanggunan bagi kepentingan publik provinsi NTT bukan respon impulsif atau dengan tujuan terselubung yang menguntungkan segelintir pihak. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
John Petrus Talan
Kawasan Ekonomi Khusus
perbatasan RI-RDTL
pelayanan publik
Kepentingan Umum
pertumbuhan ekonomi
Nusa Tenggara Timur
| Opini: Sumpah Pemuda 97 Tahun, Mengulang Satu dari Jalan Kramat ke Jalan Desa |
|
|---|
| Opini: Sumpah Pemuda, Janji Merawat Demokrasi Negeri |
|
|---|
| Opini: 60 Tahun Nostra Aetate, Membangun Persaudaraan Lintas Batas |
|
|---|
| Opini: Membangun Mesin Pertumbuhan Baru di Kabupaten Kupang |
|
|---|
| Opini: Bahasa Humanistik Vs Bahasa Algoritmik |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.