Opini

Opini: Keluarga sebagai Tempat Utama Humanisasi

Anak-anak mulai memberlakukan tubuh mereka sebagai kanvas atau objek nafsu dan bukan sebagai Bait Roh Kudus.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Catatan dari Muspas Keuskupan Agung Kupang 2025

Oleh: Sintus Runesi
Tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui – Kupang

POS-KUPANG.COM - Pada bagian akhir catatan sebelumnya (kupang.tribunnews.com 18/10/2025), saya menunjukkan bahwa tugas Gereja Katolik adalah menjaga tradisi pendidikan yang bertujuan membentuk manusia kaloskagathos. 

Ini berarti, bahwa kalau lembaga-lembaga pendidikan Katolik tidak membentuk siswa-siswa dalam keyakinan dan kejernihan untuk menggapai kepribadian integral ini, maka ideologi sekuler sudah selalu berada di depan pintu dan bersiap untuk mengisi kekosongan tersebut dengan formasi subjeknya yang tidak searah dengan gagasan Kristen. 

Baca juga: Opini: Pendidikan Katolik dan Dunia yang Tabola Bale: Footnote dari Muspas KAK 2025

Peluang ini bahkan terbuka lebar, ketika siswa itu berada di lembaga pendidikan dengan ideologi sekuler, yang dalam arti tertentu sangat anti-Kristen.

Apalagi kalau pendidikan yang berlangsung itu dipisahkan dari iman, atau dalam contoh di banyak sekolah negeri yang sepenuhnya beroperasi menurut kebijakan negara-pasar, bisa jadi pendidikan agama hanya sebatas ‘pemenuhan standar’ kurikulum, dan bukan bagian esensial dari formasi pribadi demi kebenaran, kebaikan dan keindahan. 

St. John Henry Newman menegaskan bahwa secara praktis, pendidikan menjadi rusak saat dipisahkan dari iman, dan karena itu akan gagal untuk membentuk siswa dengan formasi pribadi dan moral. 

Saat iman dihapus dari akal budi, maka kebijaksanaan direduksi menjadi sesuatu yang bisa diverifikasi secara empirik yang secara logis tidak dapat mendukung kerangka moral tertentu.

Peminggiran Keluarga

Gereja percaya bahwa keluarga adalah inti masyarakat, ‘gereja domestik’ dalam kosakatanya. 

Nilai-nilai, pendidikan dan bagaimana seseorang akan hidup, bagaimana caranya menghubungkan diri dengan orang lain, bagaimana seseorang melibatkan diri dalam kehidupan bersama, bergantung pada sejauh mana solidnya sebuah keluarga. 

Namun, dalam konteks semasa ini, konsepsi pendidikan semacam itu ditelah digantikan. 

Keluarga tidak lagi menjadi tempat pertama pencarian kebenaran, kebaikan dan keindahan. 

Cara Gibran Rakabuming menjadi calon Wakil Presiden kala itu memberitahu banyak anak, bahwa dalam hidup ini anda bisa menggapai cita-cita apa saja dan dengan cara apa saja, asal anda punya modal kekuasaan. 

Hampir lima dekade yang lalu, Paul Vitz dalam Psychology as Religion (1979), menulis bahwa keluarga sebagai model dasar bagi masyarakat seturut keyakinan Kristen, telah dirusak oleh perkembangan teori-teori psikologis atomistik yang anti-keluarga dan anti-moral Kristen. 

Teori-teori ini melihat pemenuhan-diri sebagai tujuan akhir dari formasi subjek. 

Apalagi kemudian berkembang pemikiran yang melihat tradisi dan keluarga sebagai tempat terpeliharanya struktur sosial dan cara pandang yang tidak adil terhadap sesama. 

Marx dan Engels misalnya, melihat keluarga sebagai sarana utama kapitalisme dalam memelihara struktur sosial yang tidak adil. 

Para Marxist melihat tujuan akhir pendidikan adalah konsientisasi dalam dunia yang sepenuhnya dibentuk oleh dominasi superstruktur atas basis. 

Tujuan pendidikan adalah bagaimana seorang memahami tempatnya dalam sejarah dunia, yang akan mendorongnya untuk melawan kapitalisme. 

Banyak feminis radikal yang ‘mengimani’ gagasan pemenuhan-diri sebagai tujuan tertinggi eksistensi manusia, percaya bahwa pernikahan adalah konstruksi patriarkis yang menindas, dan memiliki anak merupakan beban dan halangan dalam menggapai tujuan tersebut. 

Selain pandangan-pandangan tersebut, dari sudut pandang filsafat pun, banyak ahli yang menganggap keluarga bukanlah unit terpenting dalam masyarakat. 

Beberapa teori berkutat hanya pada soal hubungan antara negara-bangsa dan individu. 

Pemikir seperti John Rawls dan para pengikutnya, melihat bahwa dalam soal pendidikan, terutama pendidikan formal, otoritas negara tidak boleh lebih rendah dari otoritas orang tua. 

Walau tidak menyangkal tanggung jawab orang tua dalam pendidikan, para Rawlsian melihat bahwa hak-hak orang tua sangat dibatasi oleh negara. 

Bila terjadi konflik antara negara dan orang tua mengenai hak pendidikan dan tujuan pendidikan, maupun kepentingan terbaik bagi anak-anak, maka suara negaralah yang utama.

Dalam konteks fundamentalisme pasar dan kemajuan teknologi, gagasan Rawlsian tentang peminggiran orang tua dalam pendidikan anak-anak menemukan manifestasi konkretnya. 

Di satu sisi, begitu banyak orang tua disibukkan dan dipisahkan oleh. Hal ini membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja ketimbang di rumah. 

Dan di sisi lain, sebagai akibatnya, banyak anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang lain, baik secara aktual maupun secara artifisial melalui media sosial. 

Bahkan, sudah merupakan hal yang lumrah bagi banyak orang tua yang menjadikan gawai sebagai cara menjauhkan diri dari gangguan anak-anak saat sedang bekerja. 

Vitz menulis bahwa sudah saatnya kita mengenali “orang tua yang dianiaya” secara psikologis sebagai sindrom yang lazim.  

Persis di sini, kita melihat bahwa banyak anak tidak bertumbuh di tempat, di dalam komunitas di mana mereka seharus berada dengan nilai dan imajinasi yang mendukung pertumbuhan yang integral dan sehat secara spiritual. 

Sebaliknya, mereka berada di tempat atau grup media sosial berdasarkan apa yang menarik hasrat mereka. 

Dalam hal ini masyarakat, dan terutama orang tua tidak perlu heran kalau ternyata anaknya termasuk dalam grup WhatsApp dengan isi pembicaraannya memusat pada persoalan seksualitas yang tidak sehat. 

Harus dikatakan bahwa orang tua bertanggung jawab atas penyimpangan yang dilakukan anak-anak mereka.

Mengembalikan Keluarga

Dalam konteks pendidikan, salah satu kehilangan terbesar dari peminggiran keluarga adalah kita kehilangan imajinasi moral dalam tumbuh-kembang anak-anak. 

Kehilangan ini memiliki akibat. Kekristenan percaya bahwa manusia adalah imago Dei, bahwa hidup ini bermartabat dan punya tujuan yang melampaui urusan duniawi semata. 

Ketika imajinasi moral runtuh, kita kehilangan hal ini. Kita mulai melihat diri dan orang lain melalui lensa kegunaan, produktivitas, persaingan maupun tampilan. 

Anak-anak mulai memberlakukan tubuh mereka sebagai kanvas atau objek nafsu dan bukan sebagai Bait Roh Kudus. Melalui media sosial mereka mengkurasi identitas online mereka demi mendapatkan like and followers.

Ini berarti bahwa ketika mereka bertumbuh tanpa kesadaran akan panggilannya dalam hidup, mereka mulai dipengaruhi mentalitas dominan bahwa apa yang menggerakkan hidup adalah kesuksesan, bahkan persaingan dan penaklukan. 

Di sekolah, siswa mulai melihat guru sebagai musuh yang harus dikalahkan. Teman menjadi objek bullying dan seterusnya. Mereka tidak dibentuk untuk mencintai dan menyukai hal-hal yang indah dan benar. 

Mereka dibiarkan kelayapan sendirian dalam labirin komoditi imaji yang anti-tatanan moral yang sehat. Ini terjadi ketika peran asali keluarga dalam pendidikan anak dihilangkan dari wawasan tentang masa depan. 

Berhadapan dengan situasi ini, Gereja percaya bahwa keluarga adalah tempat utama humanisasi, medan pertama berseminya hubungan-hubungan antarmanusiawi dan merupakan sel-sel dasar dan sel-sel kehidupan masyarakat. 

Keluarga adalah institusi ilahi, Gereja Domestika, dan menjadi prototipe setiap tatanan sosial yang membentuk dasar kehidupan pribadi-pribadi. 

St. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa upaya negara untuk mengeluarkan keluarga dari posisinya yang pantas berarti menambah kerusakan berat pada pertumbuhan yang sejati dari keseluruhan tatanan sosial. 

Artinya, dalam ekologi manusiawi yang sehat, keluarga menjadi rahim di dalamnya anak-anak pemilik masa depan menerima dasar-dasar penting mengenai kebenaran dan kebaikan, di mana ia belajar apa artinya secara konkret menjadi seorang pribadi integral. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved