Opini

Opini: Guru dan Tantangan Eksplorasi Diri

Mereka mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) penulisan opini yang digagas oleh Komunitas Penulis Lembata.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ALBERTUS MUDA
Albertus Muda 

Oleh: Albertus Muda, S.Ag
ASN di SMAS Keberbakatan Olahraga San Bernardino, Lembata

POS-KUPANG.COM - Awal tahun ini, suasana di aula Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Lembata terasa berbeda. 

Puluhan guru berkumpul bukan untuk rapat dinas atau pelatihan rutin, melainkan untuk belajar menulis. 

Mereka mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) penulisan opini yang digagas oleh Komunitas Penulis Lembata.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas, Anselmus Asan Ola, mengajak guru menulis tentang pendidikan dan budaya lokal, dimulai dari hal-hal sederhana di sekitar mereka. 

Baca juga: Opini: Fenomena The Matthew Effect di Indonesia

Ajakan ini sederhana tapi bermakna. Sebab, menulis bagi guru bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan jalan untuk terus menggali diri, berpikir kritis, dan merefleksikan panggilan profesinya.

Namun, tak semua guru mudah melangkah ke sana. Banyak yang masih terjebak dalam rutinitas: mengajar, mengoreksi tugas, mengisi laporan, dan menyiapkan administrasi. 

Waktu untuk membaca dan menulis pun terasa semakin sempit. Padahal, dari proses membaca dan menulislah guru sesungguhnya menumbuhkan diri sebagai pembelajar sejati.

Antara Rutinitas dan Keinginan

Sebuah survei kecil yang dilakukan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Goris Keraf Lembata tahun 2024 silam terhadap 150 responden menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. 

Hasil survei yang dirilis hanya 1.7 persen ASN yang memiliki kegemaran
membaca. Jumlah yang ada tentu di dalamnya termasuk para guru.

Ada banyak alasan yang disampaikan seperti merasa tak punya cukup waktu untuk menulis atau membaca; belum pernah menulis opini atau refleksi pembelajaran; memiliki keinginan bergabung dalam komunitas literasi guru, tapi belum tahu harus mulai dari mana.

Data di atas menunjukkan, keinginan itu ada, tapi ekosistemnya belum mendukung. 

Banyak guru masih merasa kegiatan menulis tidak “terhitung” dalam penilaian kinerja, sehingga semangat itu cepat padam.

Padahal, menurut Laporan Evaluasi Program Guru Penggerak Kemdikbudristek 2024, guru yang rutin menulis refleksi pembelajaran terbukti lebih inovatif dan memiliki tingkat kepuasan kerja
yang lebih tinggi. 

Tulisan membantu guru menata pengalaman, menemukan makna dari proses
mengajar, dan mengembangkan cara baru untuk mendidik.

Menulis Itu Merawat Diri

Menulis bisa menjadi ruang hening bagi guru di tengah riuhnya tugas. Lewat menulis, guru belajar memetakan pikirannya sendiri. 

Misalnya, apa yang berhasil, apa yang perlu diperbaiki, dan apa yang bisa dibagikan ke rekan sejawat.

Namun, menulis tidak harus selalu dimulai dari topik besar. Bisa dari cerita sederhana di kelas—tentang cara siswa memahami pelajaran, tentang dinamika belajar, atau refleksi kecil dari kegiatan sekolah. 

Yang penting adalah keberanian untuk memulai. Sekolah juga punya peran besar dalam membangun budaya ini. 

Beberapa langkah kecil bisa dilakukan, seperti menyediakan “jam refleksi” mingguan, di mana guru menulis pengalaman belajar; membentuk komunitas literasi antar guru, yang saling membaca dan memberi masukan; mendorong publikasi sederhana di blog sekolah atau media lokal.

Langkah-langkah ini sederhana, tapi berdampak besar bagi kepercayaan diri guru. Ketika tulisan guru dibaca orang lain, ada semangat baru yang tumbuh bahwa pengalaman mengajar mereka bernilai dan layak dibagikan.

Dari Guru ke Komunitas Belajar

Guru yang terbuka untuk belajar dan berbagi akan selalu menemukan ruang tumbuh, bahkan di tengah keterbatasan. 

Guru yang menutup diri, sebaliknya, akan cepat merasa usang di tengah perubahan.

Dalam konteks Merdeka Belajar, guru tidak hanya ditantang untuk “mengajar lebih baik”, tetapi juga untuk belajar lebih dalam. 

Eksplorasi diri melalui membaca, menulis, dan berdiskusi adalah
kunci agar guru tidak kehilangan arah di tengah perubahan cepat dunia pendidikan digital.

Seperti air dalam gelas, meski tersisa setengah, masih bisa menghidupi banyak hal. 

Begitu pula guru: sekecil apa pun waktu dan energi yang tersisa, jika dipakai untuk belajar dan menulis, akan melahirkan harapan baru.

Menjadi Benih Harapan

Guru adalah benih yang menumbuhkan masa depan. Tapi sebelum menumbuhkan benih pengetahuan dalam diri siswa, guru perlu lebih dahulu menyirami dirinya dengan bacaan, refleksi, dan dialog. 

Jika dulu para guru di masa kolonial menjadi pelopor gerakan pencerahan melalui media cetak dan klub sosial, maka guru masa kini mesti menjadi pelopor di ruang digital dan literasi modern.

Menulis adalah bentuk keberanian guru untuk hadir tidak hanya di kelas, tetapi juga di ruang publik. 

Lewat tulisan, guru menyuarakan pengalaman, gagasan, dan harapannya bagi pendidikan.

Dan di sanalah letak maknanya: guru yang menulis sedang membangun peradaban, satu kata demi satu perubahan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved