Opini

Opini: Fenomena The Matthew Effect di Indonesia

Tulisan ini bukan sebuah ajakan untuk merampas hak orang yang kaya tetapi sebuah refleksi kritis akan hidup sebagai masyarakat Indonesia. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung, Jawa Barat

POS-KUPANG.COM - Sebagai masyarakat yang hidup di Indonesia dan menyaksikan setiap perubahan yang terjadi, kita semua pasti satu pertanyaan serius yang memerlukan jawaban. 

Pertanyaan itu pastinya mengapa di negara demokrasi yang menjunjung asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat masih menunjukkan jurang yang begitu luas antara yang kaya dan yang miskin. 

Yang kaya hidup dalam kemewahan, yang miskin menderita dalam kehidupan dan berharap bisa hidup layak.

Kita pasti sering melihat banyak orang kaya yang memamerkan kekayaan mereka entah itu di media sosial dan kita juga pasti pernah melihat bahkan merasakan hidup sebagai masyarakat Indonesia yang miskin.

Baca juga: Opini: Harapan Politik Petani Lokal

Warga miskin yang seharusnya mendapat bantuan dari pemerintah tetapi dari dulu sampai sekarang kenyataannya yang kaya berjaya dan miskin masih tersiksa. 

Tulisan ini bukan sebuah ajakan untuk merampas hak orang yang kaya tetapi sebuah refleksi kritis akan hidup sebagai masyarakat Indonesia. 

Pertanyaannya, mengapa yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin?

Fenomena ketidaksetaraan yang lazim di masyarakat sering digambarkan dengan ungkapan "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin." 

Ungkapan ini berakar pada konsep sosiologis dan ekonomi yang disebut Efek Matius ( The Matthew Effect ). 

Efek ini menjelaskan mekanisme keuntungan kumulatif dimana individu atau kelompok yang memiliki keunggulan awal akan mengumpulkan sumber daya dan peluang tambahan pada tingkat yang eksponensial. 

Efek Matius adalah hukum besi yang mengatur alokasi sumber daya, menciptakan siklus pengayaan di puncak piramida sosial dan memperparah siklus kemiskinan di dasarnya.

Konsep dan Mekanisme Efek Matius

Konsep ini dicetuskan oleh sosiolog terkemuka Robert K. Merton pada tahun 1968, yang awalnya diterapkan dalam sosiologi sains untuk menjelaskan bagaimana ilmuwan mapan cenderung menerima pengakuan dan sumber daya lebih besar. 

Istilah ini terinspirasi dari perumpamaan Injil Matius 25:29: "Sebab barangsiapa mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi barangsiapa tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya." 

Ayat ini secara sempurna merangkum prinsip keuntungan kumulatif (cumulative advantage) yang diangkat Merton menjadi kerangka analisis sosiologis universal.

Efek Matius bekerja sebagai siklus umpan balik positif (positive feedback loop). 

Mekanisme dimulai dari modal awal, baik ekonomi, sosial (jaringan), maupun budaya (pendidikan) yang dimiliki suatu entitas. 

Keunggulan awal ini memicu akselerasi sumber daya, membuka akses ke peluang investasi yang lebih eksklusif, informasi unggul, dan pelatihan kelas atas. 

Proses ini menghasilkan kredibilitas yang menarik lebih banyak investor dan mitra, menciptakan siklus berkelanjutan yang mempercepat laju pengayaan. 

Sebaliknya, bagi kelompok miskin, ketiadaan modal awal menciptakan kerugian kumulatif ( cumulative disadvantage), meliputi pendidikan rendah, kesehatan buruk, dan minimnya jaminan sosial, sehingga kesulitan mengejar ketertinggalan. 

Dalam ekonomi, Efek Matius menjelaskan mengapa tingkat pengembalian investasi (ROI) bagi orang kaya selalu lebih tinggi, bukan hanya karena risiko, tetapi karena akses mereka ke instrumen finansial terbaik yang tidak terjangkau kelas menengah ke bawah.

Manifestasi Oligarki dan Kegagalan Hukum di Indonesia

Efek Matius beroperasi secara ekstrim di Indonesia karena terjalin erat dengan struktur ekonomi yang didominasi oligarki, yaitu elite bisnis dengan jaringan politik kuat yang mempengaruhi kebijakan. 

Kekayaan akut terkonsentrasi di tangan kelompok kecil ini, terutama dari sektor sumber daya alam dan proyek infrastruktur, menandakan laju pertumbuhan kekayaan di puncak telah melampaui segala upaya redistribusi. Di sisi lain, jurang kemiskinan tetap dalam. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 mencatat bahwa persentase penduduk miskin Indonesia masih berada di angka 8,57 persen, yang setara dengan sekitar 24,06 juta orang. 

Jutaan penduduk ini terjebak dalam perangkap Efek Matius: ketiadaan modal awal membuat mereka tidak mampu mengakses pendidikan berkualitas, rentan terhadap masalah kesehatan, dan ketiadaan modal usaha, membuat status kemiskinan seolah menjadi warisan turun-temurun, sebuah manifestasi kerugian kumulatif yang dijelaskan Merton.

Ironisnya, aturan dan perundang-undangan di Indonesia yang seharusnya menjadi alat redistribusi justru dapat berfungsi sebagai corong yang memperlebar jurang kesenjangan, didorong oleh kepentingan modal dari kelompok oligarki. 

Hal ini terlihat jelas dalam tiga aspek regulasi utama. Pertama, regulasi sektoral dan perizinan (seperti Undang-Undang omnibus atau fast-track) cenderung memudahkan dan mempercepat kepentingan investasi besar, seringkali mengorbankan hak-hak masyarakat lokal dan petani kecil. 

Kedua, kebijakan fiskal (Pajak) memungkinkan Efek Matius bekerja melalui celah hukum dan insentif pajak (tax loopholes dan tax holiday) yang eksklusif dinikmati korporasi besar, mengurangi kontribusi mereka ke kas negara. 

Sementara itu, masyarakat menengah ke bawah menanggung beban tidak proporsional dari pajak konsumsi (PPN). 

Ketiga, deregulasi pasar tenaga kerja, seperti dalam Undang-Undang Cipta Kerja, menekan pendapatan riil pekerja melalui fleksibilitas PHK dan upah berbasis jam, sementara pemilik modal menikmati penghematan biaya tenaga kerja yang lebih besar. 

Efek Matius mengajarkan bahwa kesenjangan bukan sekadar nasib buruk, tetapi merupakan hasil sistemik yang menguntungkan mereka yang sudah unggul.

Solusi Struktural dan Pentingnya RUU Perampasan Aset

Oleh karena itu, intervensi untuk mengatasi Efek Matius harus bersifat struktural, diarahkan untuk mengubah sistem yang memperkuat ketidaksetaraan itu sendiri. 

Pemerintah harus secara agresif menciptakan modal awal yang adil bagi kelompok miskin melalui jaminan pendidikan berkualitas, pelayanan kesehatan universal, dan akses ke modal usaha mikro berbunga rendah, sehingga siklus kerugian kumulatif dapat diputus. 

Langkah paling krusial untuk mempersempit jurang ini adalah memutus siklus Efek Matius yang didorong oleh korupsi. 

Dalam konteks ini, penguatan dan pengesahan RUU Perampasan Aset bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah keharusan mutlak. 

Korupsi adalah bentuk ekstrem dari Efek Matius: kekuasaan politik mencuri sumber daya publik, yang dilipatgandakan menjadi kekayaan pribadi. 

Merampas aset adalah tindakan struktural untuk menghilangkan keuntungan kumulatif ilegal dengan mengambil kembali modal awal yang curang tersebut. 

Dana yang dirampas harus dialihkan kembali ke anggaran negara untuk melakukan redistribusi kekayaan melalui pembiayaan program publik yang menciptakan "modal awal" bagi masyarakat miskin. 

Selain itu, diperlukan reformasi pajak progresif yang sungguh-sungguh pada pajak penghasilan, kekayaan, dan properti, agar beban fiskal lebih besar ditanggung oleh kelompok satu persen terkaya. 

Pada akhirnya, memerangi Efek Matius membutuhkan keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural mendalam, memutus rantai 'kekayaan dari kekuasaan' demi terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan merata. Semoga!

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved