Opini

Opini: Sakti Pancasila Teguh Iman, GMIT Menapaki Tugas Besar di Tanah Timor

Pancasila sakti, iya. Tapi sakti karena apa? Karena dipelihara dengan darah dan air mata rakyat kecil, bukan semata oleh seremoni negara.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JOHN MOZES HW NERU
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Oleh:  John Mozes Hendrik Wadu Neru 
Pendeta GMIT yang berkarya di Sabu Raijua

POS-KUPANG.COM - Tanggal 1 Oktober setiap tahun bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila

Sejarahnya sarat luka dan darah, tapi pesannya jelas: bangsa ini hanya bisa berdiri kokoh bila Pancasila sungguh dihidupi, bukan sekadar dihafal. 

Pancasila disebut sakti bukan karena memiliki kuasa magis, melainkan karena ia mampu bertahan menghadapi berbagai ancaman ideologi, percobaan perpecahan dan badai krisis yang berulang kali menghantam republik ini.

Soekarno pernah menegaskan dalam pidato lahirnya Pancasila tahun 1945, bahwa dasar negara ini bukan untuk satu golongan atau agama saja, melainkan untuk semua, semua buat semua. 

Baca juga: Opini: Pancasila Abadi dalam Spirit Flobamora

Pernyataan ini menegaskan Pancasila sakti justru karena mampu merangkul keragaman.

Namun ada ironi. Di banyak tempat, Pancasila sering dijadikan jargon. Ia berkumandang di upacara, terpampang di dinding kantor, bahkan dilafalkan di awal rapat. 

Tetapi di jalan-jalan desa, di pasar, di kampung nelayan, Pancasila sering lenyap: sila keadilan sosial tidak dirasakan petani jagung yang hasil panennya anjlok; sila kemanusiaan yang adil dan beradab tak terasa bagi pekerja migran yang pulang dalam peti jenazah; sila persatuan Indonesia diuji oleh politik lokal yang masih gampang retak karena sentimen suku dan agama. 

Pancasila sakti, iya. Tapi sakti karena apa? Karena dipelihara dengan darah dan air mata rakyat kecil, bukan semata oleh seremoni negara.

Mikha 6:8: Benang Merah Iman dan Kebangsaan

Di tengah peringatan ini, suara nabi Mikha kembali relevan: “Telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8).

Ayat ini bukan sekadar nasihat rohani. Dalam konteks Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), ayat ini sudah lama jadi motto dan pegangan: berlaku adil, setia dan rendah hati adalah tiga pilar yang membimbing pelayanan. 

Dalam konteks NTT, Mikha 6:8 adalah teguran keras di tengah kemiskinan, migrasi dan bencana. Dan dalam konteks Pancasila, Mikha 6:8 menemukan gaungnya dalam sila ke-1, sila ke-2 dan sila ke-5.

Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan Muslim, pernah mengatakan bahwa inti beragama adalah mewujudkan kebajikan publik. 

Mikha 6:8 berbicara hal yang sama: iman bukan soal ritual belaka, tetapi praksis keadilan dan kesetiaan yang memberi dampak sosial. 

Tanpa keadilan, kesetiaan dan kerendahan hati, baik iman maupun Pancasila hanya tinggal slogan. Dengan itu, keduanya menemukan sakralitasnya dalam kehidupan sehari-hari.

Persidangan Sinode Istimewa

Di hari yang sama, GMIT menggelar Persidangan Sinode Istimewa untuk menetapkan Pokok-Pokok Ajaran (PPA). 

Momentum ini sungguh menarik. GMIT sebagai salah satu lembaga keagamaan terbesar di NTT sedang menegaskan kembali apa yang sebenarnya menjadi dasar imannya. 

Ada 57 pokok ajaran yang dirumuskan, dari soal Allah Tritunggal, keluarga, politik, kemiskinan, hingga isu kontemporer seperti artificial intelligence.

Ini bukan perkara kecil. Dalam sejarahnya, GMIT berdiri di tanah kering, tanah diaspora, tanah perbatasan. Gereja ini bukan hanya saksi iman, tetapi juga saksi penderitaan sosial. 

Karena itu, ujian lembaga ini bukan semata-mata soal kesetiaan pada tradisi rohani, melainkan juga soal keberanian untuk menjawab pertanyaan: 

Apakah ajaran yang ditetapkan di mimbar bisa menyapa mereka yang antre kapal di Tenau, yang kerja sebagai PRT di Malaysia, atau yang menanti air bersih di kampung-kampung Timor?

Kepungan Lembaga Agama dan Tantangan Sejati

Mari kita jujur sejenak. NTT adalah salah satu provinsi dengan kepadatan lembaga agama yang luar biasa. 

Gereja hampir ada di setiap kampung, sekolah Kristen dan Katolik berdiri di banyak kecamatan, pesantren juga bertumbuh. Kadang-kadang rasanya jumlahnya lebih banyak daripada puskesmas. 

Tetapi pertanyaan pedihnya: apakah kehadiran yang padat itu sepadan dengan perubahan sosial yang dirasakan?

Satir seperti ini perlu kita telan: NTT penuh dengan doa, tapi tetap miskin. Penuh dengan liturgi, tapi warganya masih banyak yang jadi korban perdagangan orang. 

Penuh dengan kotbah, tapi korupsi di birokrasi lokal tak juga surut. Kehadiran kelembagaan agama memang riuh, tetapi ujian sejati ada pada daya ubahnya terhadap kenyataan pahit.

Dalam konteks itu, Persidangan GMIT ini penting. Ia bukan sekadar rutinitas gerejawi, melainkan kesempatan untuk menunjukkan bahwa iman yang dihidupi sungguh-sungguh bisa menjadi kompas moral dan daya kritis bagi kehidupan masyarakat.

PPA GMIT: Dari Iman ke Ruang Publik

PPA GMIT mencakup tema-tema yang menembus tembok gereja. Ada ajaran tentang korupsi, kolusi, nepotisme, tentang kemiskinan struktural, tentang perdagangan orang, tentang lingkungan hidup, bahkan soal politik dan bangsa Indonesia. 

Itu artinya, GMIT berani mengakui bahwa iman Kristen tidak bisa hanya dipeluk di dalam doa pribadi, tetapi harus hadir di ruang publik. Namun di sini pula letak ujian berikutnya. 

Mudah menulis dokumen tebal yang memuat prinsip agung. Lebih sulit memastikan prinsip itu menetes sampai ke ruang jemaat. 

Lebih sulit lagi memastikan prinsip itu memengaruhi cara jemaat memilih pemimpin, cara keluarga mendidik anak, cara petani mengelola tanah. 

Kalau PPA hanya menjadi buku di rak kantor sinode, maka ia akan bernasib sama seperti banyak “naskah negara” yang tebal tapi tak pernah menyentuh jalan tanah di desa-desa NTT.

Mikha 6:8 menuntut: berlaku adil, bukan hanya menulis adil. Setia, bukan hanya mendeklarasikan setia. Rendah hati, bukan hanya mengutip rendah hati.

Bulan Keluarga: Pancasila dari Rumah

Menariknya, sidang ini juga bertepatan dengan pembukaan Bulan Keluarga GMIT. Ini bukan kebetulan. Pancasila sakti bukan karena diceramahkan di podium, tetapi karena diajarkan di meja makan keluarga.

Namun satire ini perlu disebut: di mimbar kita berkhotbah tentang keadilan gender, tapi di banyak rumah dapur tetap dianggap urusan istri saja. 

Di liturgi kita merayakan anak-anak, tetapi di jalan masih ada anak sekolah yang terpaksa jualan jagung rebus hingga malam. Bulan Keluarga hanya akan bermakna bila keluarga sungguh menjadi sekolah kebangsaan yang sejati.

Mikha 6:8 memberi ukuran: adil di dalam rumah, setia pada relasi keluarga, rendah hati dalam mendidik generasi. Di situlah Pancasila benar-benar hidup.

Refleksi Kritis: Ujian GMIT

Persidangan ini adalah momen monumental, tapi juga momen ujian. GMIT sedangdiuji: apakah ia akan puas dengan simbolisme, atau berani melangkah ke praksis profetik? 

Gereja sering kali kuat dalam hal seremoni: sidang megah, nyanyian meriah, naskah tebal. Tapi apakah gereja cukup berani mengusik kenyamanan politik lokal yang busuk? 

Apakah gereja berani menegur aparat yang menutup mata terhadap perdagangan orang? 

Apakah gereja berani mengatakan bahwa pembangunan yang merusak lingkungan adalah dosa terhadap generasi mendatang?

Satire lain muncul: kita bisa menggelar sidang sinode berhari-hari dengan ratusan peserta, tapi apakah kita bisa mengurai satu masalah riil misalnya, kenapa perempuan Sabu atau Flores harus selalu antre visa kerja karena lapangan di kampung tak tersedia? 

Gereja akan disebut profetik bukan karena tebalnya dokumen, tapi karena keberanian menyentuh luka konkret umat.

Di sinilah relevan apa yang dikatakan Franz Magnis-Suseno: demokrasi dan keadilan tidak bisa hanya berhenti di tataran wacana; ia harus hidup dalam “etos kejujuran dan tanggung jawab publik.” 

GMIT ditantang untuk menerjemahkan teologike dalam etos sosial-politik yang nyata.

Menjaga Iman, Menjaga Indonesia

Pada akhirnya, Persidangan GMIT ini layak mendapat ucapan selamat. Dokumen PPA adalah upaya serius, hasil proses panjang, melibatkan banyak pihak, dengan semangat imamat am orang percaya. 

Tetapi ucapan selamat ini juga datang dengan harapan besar: semoga PPA tidak berhenti jadi buku di rak, melainkan jadi kompas moral di jalan-jalan kampung.

Pancasila disebut sakti karena tahan diuji. Demikian pula iman Kristen: sakti bukan karena ditulis dalam buku tebal, tapi karena mampu bertahan dan memberi daya hidup bagi rakyat yang sudah lama letih menunggu janji pembangunan. 

Sakti bukan karena dihormati dalam seremoni, tapi karena berani hidup di tengah kenyataan yang pahit.

Hari ini, 1 Oktober kita merayakan sakti Pancasila sekaligus menyaksikan GMIT meneguhkan ajarannya. 

Dua peristiwa ini tidak boleh dipisahkan. Sebab menjaga iman berarti juga menjaga Indonesia. 

Menghidupi Pancasila berarti setia pada Kristus yang mengutus umat untuk membawa damai, keadilan dan pengharapan.

Maka, selamat bersidang GMIT. Semoga dokumen Pokok-Pokok Ajaran ini menjadi tanda bahwa gereja di tanah Timor tidak sekadar hadir di balik tembok liturgi, melainkan berdiri teguh sebagai gereja yang menyalakan iman, menghidupi Mikha6:8 dan meneguhkan sakti Pancasila di bumi NTT. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved