Opini
Opini: Membuka Ruang Sosial yang Setara Bagi Perempuan Dalam Adat Manggarai
Adat Manggarai di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah warisan budaya yang kaya dengan nilai kebersamaan, musyawarah, dan ikatan kekeluargaan.
Salah satu contoh yang paling jelas dalam forum lontok leok, musyawarah adat yang digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan penting di tingkat kampung atau keluarga besar.
Dalam forum ini, suara laki-laki dianggap sebagai representasi keluarga atau suku, sementara perempuan jarang diundang secara formal, apalagi diberi ruang bicara. Kehadiran mereka sering kali bersifat simbolik, bukan substansi.
Selain itu, hak atas tanah ulayat dan warisan juga memperlihatkan ketimpangan gender yang mencolok.
Dalam banyak kasus, hak milik tanah diwariskan melalui garis laki-laki, sementara perempuan dianggap sebagai “tamu” dalam tanah kelahiran sendiri, terutama setelah menikah.
Padahal, dalam praktik, perempuan turut bekerja mengelola lahan, menjaga keberlanjutan hasil tani, bahkan menyelesaikan hasil konflik dalam keluarga.
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada terbatasnya akses perempuan terhadap pengambilan keputusan, tetapi juga mempersempit peluang mereka dalam membangun posisi sosial yang kuat di komunitas.
Perempuan menjadi kelompok yang secara struktural dikondisikan untuk “menyokong dari belakang”, tanpa pengakuan yang setara atas kontribusi mereka.
Ironisnya, sistem ini seringkali dilestarikan atas nama adat dan "kebiasaan leluhur", meskipun tidak selalu semua nilai adat secara eksplisit mendiskriminasi perempuan.
Justru, dalam beberapa cerita lisan dan praktik lama, perempuan pernah memiliki peran penting namun kemudian tergerus oleh penafsiran adat yang semakin kaku dan bias gender.
Realitas ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih jauh dari tercapai dalam konteks adat Manggarai.
Ketimpangan ini perlu diangkat ke permukaan bukan untuk menolak adat, melainkan untuk mendorong tafsir ulang yang lebih adil dan kontekstual sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perkembangan zaman.
Meskipun tidak banyak diakui secara formal dalam struktur adat, perempuan Manggarai sesungguhnya memainkan peran yang sangat vital dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Peran ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari, bahkan menjadi penyangga utama keberlangsungan komunitas.
Dalam lingkup keluarga, perempuan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pengelola ekonomi rumah, pengambil keputusan domestik, sekaligus pendidik pertama bagi anak-anak.
Mereka menjaga nilai, mengajarkan sopan santun, dan mentransfer kebijaksanaan lokal dari generasi ke generasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.