Opini
Opini - Menggugat Nalar Kritis Kampus: Saat Rektorat Menyempil di Laboratorium
Ribuan mahasiswa Unimor turun ke jalan dalam aksi demonstrasi memprotes alih fungsi Gedung Laboratorium Terpadu
Oleh: Hermina Disnawati
(Dosen Unimor, Mahasiswa S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta)
POS-KUPANG.COM - Pada 18 September 2025, ribuan mahasiswa Universitas Timor ( Unimor ) turun ke jalan dalam aksi demonstrasi memprotes alih fungsi Gedung Laboratorium Terpadu menjadi kantor rektorat.
Aksi itu memuncak ketika sekelompok mahasiswa mencopot huruf “REKTORAT UNIVERSITAS TIMOR” di gedung tersebut.
Adegan itu direkam dalam video 37 detik, viral di media sosial kemudian memantik perdebatan publik. Ada yang menganggap aksi ini sebagai tindakan anarkis karena mencoreng wajah kampus dan merusak fasilitas.
Tetapi ada pula yang memujinya sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan kampus yang abai pada kebutuhan dasar mahasiswa.
Jika ditelisik secara saksama, persoalan ini bukan sekadar papan nama, melainkan pergeseran orientasi kampus dari center of knowledge menjadi center of power.
Universitas, yang semestinya menjadi rumah bagi kebebasan berpikir, kini menjelma sebagai kantor birokrasi yang sibuk dengan gengsi dan formalitas.
Laboratorium sebagai Istana Kekuasaan
Gedung Laboratorium Terpadu Unimor awalnya dibangun dengan semangat luhur yakni mendukung praktikum, riset, dan kegiatan akademik lintas prodi.
Diresmikan oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek), Prof Brian Juliarto, pada 16 April 2025, bangunan ini diharapakan sebagai jantung akademik.
Saat asesmen lapangan akreditasi institusi (APT), gedung ini dipilih untuk menyambut asesor karena tampilannya representatif yaitu bersih, mewah, dan berwibawa. Ironisnya, momentum itu justru menjadi titik balik penyimpangan fungsi gedung.
Dari pusat akademik kemudian bermetamorfosis menjadi singgasana kekuasaan administratif yang ditempati Rektor, Wakil Rektor, Kepala Biro hingga bagian Keuangan.
Lebih ironis lagi, pada saat yang sama mahasiswa dipaksa berkuliah di SMKN 1 Kefamenanu dalam kondisi kurang ideal terutama pada malam hari.
Mahasiswa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mobilisasi dan kehilangan atmosfer akademik yang seharusnya mereka rasakan di kampus.
Akreditasi: Cermin Institusi atau Panggung Kamuflase?
Pimpinan Unimor berdalih bahwa alih fungsi laboratorium itu hanya sementara yakni demi menyukseskan akreditasi institusi pada Juli 2025. Namun berbulan-bulan setelah asesmen, papan nama “Rektorat” masih terpampang gagah di gedung laboratorium.
Di sinilah paradoks mencuat: apakah akreditasi dipahami sebagai refleksi jujur tentang kualitas institusi atau sekadar kosmetik pencitraan.
Dalam filosofi asesmen dan evaluasi, akreditasi mestinya menjadi momentum kontemplatif, bukan kompetisi dekoratif. Asesor bukanlah wisatawan yang hendak terpukau oleh keramik mengkilap atau plafon tinggi. Mereka hadir untuk menguji denyut tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian.
Sebagaimana dikritik Will Miller (2025) dalam artikelnya “Reimagining Accreditation: From Compliance to Learning-Centered Transformation”, proses akreditasi kini terlalu sering diperlakukan sebagai ritual administratif belaka.
Dokumen tersusun rapi, gedung tampak menawan, dan asesor “disambut” dengan ritual mengesankan. Miller menyebut ini sebagai jebakan compliance: kampus berlomba menjadi taat secara formil, tetapi miskin secara substantif.
Dalam konteks ini, ketika laboratorium sebagai jantung inovasi dikorbankan demi panggung pencitraan, maka yang lahir bukanlah transformasi akademik, melainkan deformasi nalar.
Bangunan megah bisa memukau sesaat, tetapi tak akan pernah menggantikan kualitas pembelajaran yang berpihak pada mahasiswa.
Sewa Laboratorium: Ketimpangan Wewenang dalam Tata Kelola Akademik
Masalah semakin jelas ketika mencermati penerbitan SK Rektor Nomor 307/UN.60/KU/2025 tentang Penetapan Tarif Sewa Alat Laboratorium, yang ditetapkan pada 25/07/2025.
Anehnya, SK ini terbit hanya berdasarkan usulan Kepala Biro Akademik, Perencanaan, dan Keuangan tertanggal 22/07/2025, tanpa pelibatan Kepala Laboratorium Terpadu yang secara fungsional yang paling memahami kondisi riil, risiko keselamatan, pengelolaan bahan berbahaya dan kebutuhan tridarma.
Pertanyaan pun muncul, bagaimana mungkin kebijakan strategis terkait fasilitas akademik ditentukan oleh unit administratif tanpa melibatkan pengelola utama itu sendiri? Apakah biro administrasi kini mengambil alih otoritas akademik?
Kejanggalan ini semakin terang ketika mencermati SK Rektor Nomor 306/UN60/PG/2025 tentang Tim Penyusun Harga Sewa Alat Lab, yang justru baru ditetapkan tiga hari kemudian, yakni pada 28/07/2025.
Artinya, tarif telah ditetapkan sebelum tim penyusunnya dibentuk secara legal. Ini jelas membalikan logika prosedur administrasi yang sehat: hasil kebijakan ditentukan lebih dulu baru timnya dibentuk.
Proses penyusunan tarif sewa laboratorium yang digagas tanpa uji publik dan tanpa melibatkan struktur akademik mencerminkan lemahnya tata kelola partisipatif.
Laboratorium yang seharusnya menjadi ruang kolektif untuk riset dan pembelajaran justru diperlakukan sebagai aset birokrasi. Ketika otoritas akademik disingkirkan oleh dominasi administratif, maka yang terganggu bukan hanya fungsi melainkan juga martabat institusi.
Tarif sewa yang tidak proporsional berisiko mendorong komersialisasi laboratorium, mengabaikan daya beli mahasiswa dan kemampuan ekonomi kampus, serta mencederai prinsip aksesibilitas dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi.
Ancaman Demokrasi di Balik KIP Kuliah
Isu lain yang memantik kemarahan mahasiswa adalah larangan demonstrasi bagi penerima KIP Kuliah, yang diduga berasal dari internal pengelola beasiswa.
Larangan ini dinilai sebagai tekanan terselubung yang melanggar hak konstitusional mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
Padahal, mahasiswa penerima KIP adalah bagian integral dari komunitas kampus yang juga terdampak kebijakan alih fungsi laboratorium dan krisis ruang kuliah.
Melabeli mereka sebagai pihak yang "harus diam karena menerima bantuan negara" merupakan reduksi terhadap eksistensi intelektual mahasiswa. Beasiswa tidak boleh dijadikan alat pembungkam aspirasi.
Ancaman semacam ini tidak hanya bertentangan dengan semangat demokrasi, tetapi juga mencederai esensi pendidikan tinggi yang menjunjung kebebasan berpikir dan berbicara.
Jika kondisi ini dibiarkan, kampus akan kehilangan jiwanya sebagai arena dialektika dan pembentukan karakter yang berintegritas.
Ketika suara mahasiswa dibungkam dengan dalih beasiswa, maka ruang akademik justru berubah menjadi ruang kepatuhan semu yang menindas.
Maka wajar jika aksi demonstrasi menjadi pilihan terakhir ketika saluran dialog formal mandek dan aspirasi tidak lagi didengar.
Refleksi Kepemimpinan dan Seruan Perubahan
Demonstrasi besar di Unimor bukanlah letupan emosional sesaat, melainkan akumulasi dari kekecewaan panjang terhadap pola kepemimpinan yang eksklusif dan abai pada kebutuhan mahasiswa.
Dari alih fungsi laboratorium, penyewaan ruang belajar, hingga intimidasi terhadap penerima KIP, semuanya mengindikasikan krisis tata kelola serius.
Dalam situasi ini, penulis sebagai bagian integral dari Unimor mengajak pimpinan universitas seyogianya tidak melihat aksi mahasiswa sebagai ancaman, melainkan sebagai medan refleksi manajemen kampus sekaligus titik balik untuk menghidupkan kembali roh sejati perguruan tinggi: ruang dialog, otonomi akademik, dan nalar kritis.
Semoga Unimor sebagai perguruan tinggi negeri di perbatasan negara, senantiasa bertumbuh dalam semangat Sapientia et Veritas, menjadi institusi yang bijaksana dalam membaca realita dan teguh dalam menegakkan kebenaran demi masa depan bangsa yang inklusif dan bermartabat.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang duduk di kursi empuk rektorat, tetapi siapa yang berani menjaga marwah universitas sebagai tempat lahirnya inovasi dan kebebasan. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
Menggugat Nalar Kritis Kampus
Opini
Hermina Disnawati
Universitas Timor
Unimor
SMKN 1 Kefamenanu
POS-KUPANG.COM
Gedung Laboratorium Terpadu
Opini: NTT Mengayuh ke Panggung Dunia |
![]() |
---|
Opini: Mengungkap Kausalitas Fenomena Spasial Kemarau Basah di NTT |
![]() |
---|
Opini: Ekstradisi Eks Kapolres Ngada sama dengan Negara Melepas Tanggung Jawab kepada Korban |
![]() |
---|
Opini: Demonstrasi ala Gen Z |
![]() |
---|
Opini - Banjir Bali dan Nagekeo: Pelajaran Mitigasi untuk Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.