Opini
Opini: Mengungkap Kausalitas Fenomena Spasial Kemarau Basah di NTT
Fenomena yang kontradiktif ini adalah sebuah misteri. Sebagian bertanya, mengapa hujan bisa datang saat seharusnya kemarau?
Oleh: Hamdan Nurdin
Analis Iklim Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Bagi sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), cerita tentang musim kemarau adalah kisah yang familiar.
Itu adalah saat matahari membakar, tanah mengering, dan hari-hari terasa panjang dalam keheningan yang kering.
Kalender iklim pun mengamini, menyebut bulan September sebagai puncak musim kemarau.
Namun, tahun 2025 ini, langit di atas NTT seperti sedang memainkan drama yang tidak biasa.
Di satu sisi, ada wilayah yang benar-benar merasakan kemarau panjang, bahkan ekstrem.
Baca juga: Opini: Belajar dari Anomali Cuaca dan Iklim di Nusa Tenggara Timur
Di sisi lain, sebuah kejutan terjadi seperti hujan deras yang berdampak banjir dan bahkan tanah longsor, tiba-tiba turun di beberapa lokasi, seolah menolak untuk mematuhi skenario yang sudah ditetapkan.
Fenomena yang kontradiktif ini adalah sebuah misteri. Sebagian bertanya, mengapa hujan bisa datang saat seharusnya kemarau?
Apa yang sedang terjadi dengan iklim kita? Artikel ini hadir mencoba sebagai dasar panduan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mengajak untuk melihat ada apa yang terjadi "di balik layar" tentang pertunjukan cuaca yang sedang berlangsung, menguraikan data teknis menjadi cerita yang mudah dipahami, dan mengungkap para "aktor-aktor" tak terduga yang memicu hujan di tengah musim kemarau.
Dengan demikian, artikel ini bukan sekadar informasi, melainkan alat untuk memahami dan mempersiapkan diri menghadapi alam yang semakin tak menentu.
Untuk memahami fenomena ini, bayangkan cuaca sebagai sebuah pementasan teater.
Alur utama yang sudah kita kenal adalah lakon berjudul "Musim Kemarau," yang menampilkan karakter-karakter seperti hari yang panas, angin kering, dan langit cerah.
Namun, di tengah pementasan itu, muncul karakter baru yang tidak ada dalam naskah: "Hujan Lokal," yang tiba-tiba mengambil alih panggung dengan adegan badai dan petir.
Artikel ini akan membawa kita semua untuk bertemu dengan "sutradara" dan "penulis naskah" yang tak terlihat di balik panggung yang kita sebut sebagai dinamika atmosfer yang unik di NTT untuk memahami mengapa pertunjukan cuaca tahun ini begitu berbeda.
Berdasarkan data dan informasi dari akumulasi curah hujan 10 harian (dasarian) yang bersumber dari Stasiun Klimatologi Kelas II Nusa Tenggara Timur menjadi bukti kuat yang memvalidasi pengamatan masyarakat akan anomali cuaca dan iklim.
Melalui analisis mendalam, terlihat bahwa kondisi iklim di NTT pada bulan September tidak lagi seragam, melainkan terpecah menjadi dua realitas yang sangat berbeda.
Hari Tanpa Hujan (HTH) menjadi Sebuah Kisah yang Terpecah
Salah satu indikator utama dari kondisi kemarau adalah Hari Tanpa Hujan (HTH).
Konsep ini dapat diibaratkan seperti "skor bebas hujan" untuk sebuah wilayah. Semakin tinggi skornya, semakin lama wilayah tersebut tidak diguyur hujan.
Menurut pantauan terkini pada Dasarian II September 2025, sebagian besar wilayah NTT mengalami Hari Tanpa Hujan dengan kategori Sangat Pendek (1-5 hari) hingga Menengah (11-20 hari).
Hal ini menunjukkan bahwa hujan dengan intensitas ringan hingga sedang masih sesekali turun di beberapa daerah, mencegah terjadinya kekeringan yang berkepanjangan secara merata di seluruh Provinsi NTT.
Namun, yang menarik perhatian adalah adanya kesenjangan spasial yang mencolok.
Di tengah kondisi yang secara umum masih mengalami hujan, beberapa wilayah justru mencatat Hari Tanpa Hujan dengan kategori Ekstrem Panjang, yang berarti tidak ada hujan selama lebih dari 60 hari.
Wilayah-wilayah ini mencakup Kabupaten Lembata (sekitar Wairiang dan Hadakewa), Kota Kupang (sekitar Fatubena), Kabupaten Timor Tengah Utara (sekitar Lurasik), Kabupaten Kupang (sekitar Lelogama), Kabupaten Sabu Raijua (sekitar Tardamu) dan Kabupaten Sumba Timur (sekitar Waingapu, Kanatang, Lambanapu, Rambangaru dan Kamanggih).
Dua data yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa NTT tidak dapat lagi dilihat sebagai satu kesatuan iklim yang homogen.
Sebaliknya, provinsi ini memiliki dua realitas yang hidup berdampingan.
Di satu sisi, ada wilayah yang menghadapi risiko kekeringan dan krisis air yang nyata.
Di sisi lain, ada wilayah yang mengalami kondisi yang jauh dari "kering" sama sekali.
Realitas ganda ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam mitigasi dan perencanaan, di mana pemerintah daerah dan masyarakat tidak bisa lagi menggunakan satu asumsi umum untuk seluruh wilayah.
Curah Hujan Tak Biasa di Tengah Kemarau
Untuk mengukur seberapa banyak air yang turun dari langit, digunakanlah istilah curah hujan.
BMKG mengklasifikasikan curah hujan menjadi empat kategori: Rendah, Menengah, Tinggi dan Sangat Tinggi.
Secara umum, data analisis curah hujan Dasarian II September 2025 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah NTT berada dalam kategori Rendah, dengan curah hujan berkisar 0-50 milimeter per dasarian.
Ini adalah kondisi yang wajar dan sesuai dengan ekspektasi musim kemarau.
Namun, di luar tren umum tersebut, terjadi fenomena yang sangat kontradiktif terjadi di beberapa wilayah justru mengalami curah hujan dengan kategori yang lebih tinggi.
Curah hujan kategori Menengah (51-150 mm/dasarian) tercatat di sebagian besar Kabupaten Manggarai Barat, sebagian kecil Kabupaten Manggarai, sebagian besar Kabupaten Manggarai Timur, sebagian kecil Kabupaten Nagekeo, sebagian besar Kabupaten Ende, sebagian Kabupaten Sikka, sebagian kecil Kabupaten Sumba Barat dan sebagian kecil Kabupaten Sumba Timur.
Puncak anomali terjadi di wilayah Manggarai Raya, data menunjukkan sebagian kecil Kabupaten Manggarai Barat, sebagian besar Kabupaten Manggarai dan sebagian kecil Kabupaten Manggarai Timur mengalami curah hujan kategori Tinggi (151-300 mm/dasarian).
Bahkan, di sebagian kecil Kabupaten Manggarai, curah hujan mencapai kategori Sangat Tinggi dengan curah hujan mencapai 300 mm/dasarian.
Angka ini sangat luar biasa untuk musim kemarau dan mengindikasikan bahwa ada kekuatan atmosfer yang signifikan yang mampu menumpahkan air secara masif di tengah kondisi yang seharusnya kering.
Hal ini bukan sekadar anomali acak, melainkan sinyal kuat dari mekanisme iklim lokal yang sedang bekerja dengan intensitas tinggi.
Bagaimana perkembangan curah hujan di 10 hari berikutnya? Setelah menganalisis kondisi saat ini, pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang akan terjadi di dasarian berikutnya?
Untuk menjawabnya, BMKG merilis prediksi dengan curah hujan dengan menggunakan metode probabilistik.
Memahami prediksi ini seperti melihat ramalan pertandingan sepak bola yang dilengkapi dengan "tingkat keyakinan" atau "peluang kejadian."
Prediksi ini tidak mengatakan, "Tim A pasti akan menang," melainkan, "Tim A memiliki peluang 71-100 persen untuk menang."
Hal ini membantu kita memahami bahwa ramalan cuaca bukan jaminan mutlak, melainkan sebuah prediksi dengan didasarkan pada probabilitas tertinggi.
Antara Kepastian dan Kemungkinan
Berdasarkan prediksi curah hujan probabilistik untuk Dasarian III September 2025 yang dirilis oleh Stasiun Klimatologi NTT, secara umum wilayah NTT diprediksi masih akan konsisten dengan periode musim kemarau, dimana sebagian besar wilayah masih berpeluang curah hujan dengan kategori Rendah (0-50 mm/dasarian).
Peluang terjadinya kondisi ini sangat tinggi dengan nilai peluang antara 71-100 persen.
Namun, prediksi ini juga menegaskan bahwa anomali yang terjadi di awal September 2025 kemungkinan akan berlanjut di beberapa seperti, sebagian besar Kabupaten Manggarai Barat, sebagian besar Kabupaten Manggarai, sebagian besar Kabupaten Manggarai Timur, sebagian kecil Kabupaten Ngada, sebagian besar Kabupaten Kupang, sebagian Kabupaten Timor Tengah Selatan dan sebagian kecil Kabupaten Timor Tengah Utara, diprediksi akan mengalami curah hujan kategori Menengah (51-150 mm/dasarian) dengan peluang kejadian 51-100 persen.
Prediksi ini memberikan petunjuk penting bahwa kondisi iklim di NTT tidak akan kembali ke pola kemarau yang "normal" secara keseluruhan dalam waktu dekat.
Faktor-faktor yang menyebabkan hujan lokal di bulan ini diperkirakan akan tetap aktif dan memengaruhi cuaca dan iklim di wilayah-wilayah tertentu.
Oleh karena itu, masyarakat yang berada di daerah-daerah yang diprediksi akan mengalami hujan dengan kategori menengah tidak bisa mengabaikan risiko bencana hidrometeorologi, meskipun kalender menunjukkan bahwa sekarang masih berada di periode musim kemarau.
Mengungkap Misteri “Kemarau Basah”
Data-data di atas telah mengonfirmasi keberadaan kemarau yang 'basah' dan tidak seragam. Kini saatnya untuk menggali lebih dalam dan memahami alasan ilmiah di baliknya.
Mengapa NTT memiliki pola cuaca yang begitu unik dan mudah "menyimpang" dari aturan musim kemarau yang berlaku di sebagian besar wilayah Indonesia?
Jawabannya terletak pada dinamika atmosfer yang kompleks, yang bekerja sebagai "penulis naskah" di balik layar.
Gelombang atmosfer Rossby dan Kawan-kawan: Tokoh Utama yang Tak Terduga
Selain pola dasar tersebut, ada "aktor" lain yang berperan sebagai pemicu langsung dari hujan lokal yang intens.
BMKG mengidentifikasi bahwa pemicu utama hujan deras di sejumlah daerah di NTT pada awal bulan September 2025 adalah Gelombang Atmosfer Equatorial Rossby.
Untuk memahami Gelombang Rossby, “bayangkan laut sebagai sebuah kolam renang yang luas. Angin monsun adalah arus besar yang menggerakkan seluruh massa air. Namun, di permukaan air, ada riak atau gelombang kecil yang tidak terlihat, yang bergerak melintasi kolam”.
Itulah analogi sederhana dari Gelombang Rossby. Meskipun tidak sekuat angin monsun, Gelombang Rossby membawa serta energi dan uap air yang cukup untuk memicu pembentukan awan-awan hujan yang masif saat melintas di atas suatu wilayah.
Fenomena ini menjadi "senjata rahasia" alam yang mampu memicu hujan deras di tengah musim kemarau, seolah-olah mengabaikan arus besar yang sedang terjadi.
Selain Gelombang Rossby, terdapat faktor-faktor lain yang turut memperkuat kondisi tersebut, yaitu Anomali Suhu Permukaan Laut dan Konvergensi.
Anomali Suhu Permukaan Laut dapat diibaratkan sebagai "titik panas" di permukaan laut yang menghasilkan lebih banyak uap air dari biasanya, menyediakan "bahan bakar" tambahan untuk awan hujan.
Sementara itu, Konvergensi adalah kondisi di mana angin dari berbagai arah bertemu di satu titik, memaksa udara yang lembap untuk naik ke atmosfer dan membentuk awan hujan.
Interaksi antara gelombang Rossby, anomali suhu permukaan laut, dan konvergensi inilah yang menciptakan resep sempurna untuk hujan lebat yang tidak terduga di tengah musim kemarau, seperti yang terjadi di Manggarai.
Fenomena ini juga sering kali disertai dengan angin kencang di beberapa wilayah, seperti yang diperingatkan oleh Stasiun Meteorologi pada awal Agustus hingga Pertengahan September 2025.
Kondisi pola hujan lokal di tahun 2025 ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dari tahun sebelumnya.
Menurut laporan BMKG-RI, awal musim kemarau tahun 2024 wilayah Nusa Tenggara di prediksi datang lebih awal dibandingkan wilayah lain di Indonesia, cenderung normal, dengan curah hujan yang rendah dan durasi yang lebih panjang.
Sebaliknya, musim kemarau tahun 2025 cenderung basah, dengan awal musim yang lebih lambat, curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya, dan durasi yang lebih pendek.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa cuaca di NTT tidak statis, melainkan sebuah sistem yang sangat dinamis, di mana pola monsun dapat dimodifikasi secara signifikan oleh fenomena regional seperti gelombang Rossby.
Mengubah Waspada Menjadi Tindakan Nyata
Pemahaman mendalam tentang kondisi cuaca dan iklim NTT yang unik ini harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata, bukan sekadar pengetahuan pasif.
Analisis data dan penjelasan ilmiah di atas menggarisbawahi satu poin krusial: risiko yang dihadapi masyarakat NTT saat ini bersifat ganda dan spesifik lokasi.
Di satu sisi, wilayah-wilayah seperti Lembata, Sabu Raijua, dan Sumba Timur yang mengalami Hari Tanpa Hujan ekstrem harus berfokus pada mitigasi kekeringan.
Ini mencakup manajemen air yang lebih baik, persiapan cadangan air, dan langkah-langkah konservasi.
Di sisi lain, wilayah-wilayah yang rentan mengalami hujan lokal, seperti Manggarai, Ngada, Nagekeo dan Ende, harus tetap waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor, meskipun sedang berada dalam periode musim kemarau.
Masyarakat dan pemerintah di daerah rawan banjir atau longsor perlu menyiapkan "tas siaga bencana," memastikan saluran air tidak tersumbat, dan mengetahui jalur evakuasi.
Sementara itu, di daerah yang menghadapi kekeringan, fokus harus beralih pada upaya penghematan air dan persiapan untuk kemungkinan krisis air.
Terpenting dari semua ini, masyarakat NTT didorong untuk tidak lagi hanya mengandalkan asumsi musiman yang umum.
Setiap keluarga, petani, dan komunitas harus aktif memantau informasi iklim dan peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG - Stasiun Klimatologi Kelas II NTT melalui semua platform media sosial.
Informasi yang detail dan terperinci inilah yang akan menjadi kompas dalam navigasi cuaca yang semakin tidak terduga.
Sekali lagi mari kita mulai Belajar dari Langit NTT
Kisah kemarau 'basah' di NTT ini bukan sekadar cerita tentang anomali cuaca. Ini adalah pelajaran berharga yang menunjukkan betapa kompleks dan dinamisnya sistem iklim kita.
Langit di atas NTT sedang bercerita tentang interaksi antara pola iklim lokal yang unik dan gelombang atmosfer global yang tidak terlihat.
Fenomena ini mengingatkan bahwa pengetahuan tentang lingkungan sekitar harus terus diperbarui.
Dengan memahami mengapa hujan turun di tengah kemarau, masyarakat NTT dapat bergerak dari sekadar mengamati menjadi proaktif.
Dengan menjadikan informasi iklim sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, kita dapat mengubah kewaspadaan menjadi tindakan nyata dan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan yang dibawa oleh cuaca dan iklim yang terus berubah.
Kemampuan untuk membaca "kode langit" inilah yang pada akhirnya akan menjadi kunci untuk menjaga keselamatan dan keberlanjutan hidup di bumi Nusa Tenggara Timur. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Ekstradisi Eks Kapolres Ngada sama dengan Negara Melepas Tanggung Jawab kepada Korban |
![]() |
---|
Opini: Demonstrasi ala Gen Z |
![]() |
---|
Opini - Banjir Bali dan Nagekeo: Pelajaran Mitigasi untuk Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini - Causa Etika: Putusan PTDH Kompol Cosmas |
![]() |
---|
Opini: Dari Ujung ke Ujung Elar Selatan, Cermin Keabadian Janji Pemerintah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.