Breaking News

Opini

Opini: Ekstradisi Eks Kapolres Ngada sama dengan Negara Melepas Tanggung Jawab kepada Korban

Kita tidak boleh kehilangan fokus. Kejahatan seksual yang diduga dilakukan eks Kapolres Ngada jelas-jelas terjadi di Kota Kupang. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI/MARIA W INVIOLATA WATU RAKA
Maria Wilhelsya Inviolata Watu Raka 

Oleh: Maria Wilhelsya Inviolata Watu Raka, SH., M.IL., M.IR
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Dalam pusaran kasus eks Kapolres Ngada, publik kembali dikejutkan dengan polemik hukum yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. 

Di tengah persidangan yang sedang berjalan, seorang ahli pidana yang dihadirkan pihak terdakwa justru mengeluarkan pendapat yang mengusik akal sehat.

Dia menyatakan bahwa locus delicti —tempat terjadinya perkara—seharusnya berada di Australia, sehingga terdakwa layak diekstradisi. 

Alasannya sederhana karena video asusila yang melibatkan terdakwa pertama kali ditemukan oleh Australian Federal Police (AFP) dan terdakwa dijerat dengan UU ITE. 

Baca juga: Opini - Causa Etika: Putusan PTDH Kompol Cosmas

Pernyataan ini seolah-olah memberi arah baru dalam perdebatan tetapi sejatinya berbahaya. 

Pernyataan itu dapat menyesatkan publik, merusak kepercayaan terhadap sistem hukum nasional, sekaligus mengaburkan fakta utama: kejahatan seksual itu dilakukan di Indonesia, terhadap anak-anak Indonesia, oleh seorang aparat penegak hukum Indonesia.

Asas Teritorial: Locus Delicti Ada di Indonesia

Kita tidak boleh kehilangan fokus. Kejahatan seksual yang diduga dilakukan eks Kapolres Ngada jelas-jelas terjadi di Kota Kupang. 

Korban berusia 5, 11, dan 13 tahun adalah anak-anak Indonesia. Perekaman video yang dijadikan alat bukti pun dilakukan di wilayah hukum Indonesia. 

Pasal 2 KUHP sudah sangat terang menjelaskan “Ketentuan pidana dalam hukum Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan kejahatan di Indonesia.” 

Ini adalah prinsip asas teritorialitas, yang menegaskan bahwa hukum suatu negara berlaku terhadap semua tindak pidana yang terjadi di dalam wilayahnya. 

Maka, tidak ada ruang untuk menafsirkan locus delicti ke luar negeri hanya karena bukti ditemukan di sana. 

Locus delicti tetaplah Kupang, Nusa Tenggara Timur, tanah air kita sendiri.

Mengatakan bahwa locus delicti ada di Australia sama saja menafikan keberadaan korban dan mengingkari kenyataan hukum yang terang-benderang. 

Ini bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan menyangkut martabat korban, keluarga, dan sistem hukum kita.

UU ITE: Bukan Alasan Melepas Yurisdiksi Indonesia

Argumen berikutnya yang dilontarkan ahli pidana tersebut adalah penggunaan UU ITE. 

Menurutnya, karena terdakwa dijerat UU ITE dan video ditemukan di website Australia, maka locus delicti bergeser ke Australia. 

Padahal, ini adalah kesalahan logika hukum. UU ITE tidak pernah dimaksudkan untuk menghapus yurisdiksi Indonesia. 

Justru sebaliknya, Pasal 2 UU ITE memperluas jangkauan yurisdiksi Indonesia dengan asas ekstrateritorialitas. 

Bunyi pasalnya jelas: UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik di dalam maupun di luar wilayah hukum Indonesia, sepanjang perbuatan itu menimbulkan akibat hukum di Indonesia atau merugikan kepentingan Indonesia.

Dengan kata lain, sekalipun konten asusila itu diunggah dan ditemukan di luar negeri, hukum Indonesia tetap berlaku karena pelaku adalah warga negara Indonesia dan perbuatannya menimbulkan akibat di Indonesia. 

Konsep ini juga sejalan dengan asas nasionalitas aktif yang dijelaskan Andi Hamzah bahwa hukum pidana Indonesia mengikuti ke mana pun warganya pergi, agar tidak ada WNI yang lolos dari jerat hukum (2004). 

Jadi, menyebut UU ITE sebagai alasan untuk mengekstradisi eks Kapolres Ngada justru memperlihatkan kekeliruan mendasar dalam membaca fungsi UU ITE itu sendiri.

Ekstradisi: Bukan Jalan, Bukan Solusi

Diskusi menjadi semakin rancu ketika perdebatan diarahkan pada pertanyaan: apakah eks Kapolres Ngada dapat diekstradisi ke Australia?

Secara sederhana, ekstradisi adalah penyerahan pelaku kejahatan dari satu negara ke negara lain yang berwenang mengadili atau menghukumnya. 

Indonesia memang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia, yang diratifikasi melalui UU No. 8 Tahun 1994. 

Secara teori, kejahatan seksual terhadap anak-anak termasuk dalam kategori tindak pidana yang dapat diekstradisi, apalagi memenuhi asas double criminality (diakui sebagai kejahatan baik di Indonesia maupun Australia).

Namun, perdebatan tidak berhenti di situ. UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menegaskan bahwa permintaan ekstradisi terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) harus ditolak. 

Pasal 7 hanya memberi ruang jika memang lebih baik diadili di negara peminta, tetapi alasan itu tidak relevan dalam kasus ini. 

Bagaimana mungkin kita menyatakan bahwa hukum dan pengadilan kita tidak mampu memberi keadilan, lalu menyerahkan pelaku ke luar negeri? Itu sama saja merendahkan martabat bangsa.

Pasal 8 dan Pasal 9 UU Ekstradisi juga mempertegas bahwa kejahatan yang dilakukan sebagian atau seluruhnya di Indonesia tidak dapat diekstradisi, dan ekstradisi tidak berlaku jika pelaku sedang diproses di pengadilan Indonesia. 

Fakta bahwa eks Kapolres Ngada sedang menjalani persidangan di tanah air adalah bukti nyata bahwa ekstradisi tidak mungkin dilakukan. 

Maka wacana ekstradisi dalam kasus ini bukan saja tidak berdasar, tetapi juga berbahaya. 

Ia seolah-olah menyampaikan bahwa kita tidak percaya pada sistem peradilan sendiri, padahal hukum Indonesia sudah jelas memberi dasar kuat untuk menegakkan keadilan di negeri sendiri.

Mengawal Keadilan, Menolak Distorsi

Pernyataan ahli pidana yang mencoba menggeser locus delicti ke Australia dan membuka peluang ekstradisi adalah sebuah distorsi hukum. 

Distorsi ini berbahaya, karena dapat melemahkan keyakinan publik bahwa hukum di Indonesia mampu berdiri tegak menghadapi kasus besar sekalipun.

Kita harus tegas: kejahatan eks Kapolres Ngada adalah kejahatan yang dilakukan di Indonesia, terhadap korban Indonesia, oleh pelaku yang adalah warga negara Indonesia. 

Yurisdiksi penuh ada di tangan negara kita. Proses hukum yang sedang berjalan harus dikawal agar transparan, adil, dan memberi keadilan, terutama bagi para korban yang masih anak-anak.

Kita tidak boleh membiarkan isu ekstradisi mengaburkan fokus utama yaitu memastikan bahwa korban mendapat keadilan dan pelaku mendapat hukuman yang setimpal. 

Diskusi hukum tidak boleh dijadikan celah untuk meloloskan pelaku atau melemahkan penegakan hukum di tanah air.

Kesimpulan

Berdasarkan asas teritorial, locus delicti perkara ini ada di Indonesia. 

Berdasarkan UU ITE, yurisdiksi Indonesia tetap berlaku meskipun konten ditemukan di luar negeri. 

Berdasarkan UU Ekstradisi, pelaku yang adalah WNI dan sedang diadili di Indonesia tidak bisa diekstradisi. 

Dengan demikian, keterangan ahli pidana yang menyebut eks Kapolres Ngada harus diekstradisi ke Australia jelas keliru, menyesatkan, dan melecehkan martabat sistem hukum Indonesia. 

Yang harus kita lakukan bukanlah memperdebatkan otoritas hukum Australia, melainkan memastikan bahwa hukum Indonesia ditegakkan seadil-adilnya. 

Menyerahkan pelaku ke luar negeri sama saja dengan mengkhianati tanggung jawab negara terhadap rakyat (anak-anaknya) sendiri. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved