Opini

Opini: Kasus Eks Kapolres Ngada Cacat Hukum atau Cacat Nurani?

Prinsipnya sederhana: anak adalah korban yang wajib dilindungi, bukan pelaku yang bisa disalahkan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK TRIBUNNEWS.COM
ILUSTRASI 

Oleh: Johanes De Brito Siga Nono, S.H., MIR., MIL. 
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM -  Bayangkan sebuah negeri yang bangga disebut rechtsstaat, negara hukum, tetapi kadang lupa bahwa hukum sejatinya adalah nurani yang diberi kata. 

Di ruang sidang Pengadilan Negeri Kupang, saksi ahli dari Universitas Nusa Cendana menyebut kasus eks Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, “cacat hukum”. 

Ungkapan ini seketika memantik diskusi publik. Jika aparat penegak hukum bisa lolos dari jerat prosedur, apa artinya perlindungan anak yang telah dijamin undang-undang? 

Menjadi lebih ironi ketika nurani kita ikut cacat. Ketidakadilan adalah suatu kegelapan dan hukum adalah cahaya yang seharusnya menerangi. Maka, mengapa cahaya itu kini terasa redup?

Indonesia sebenarnya sudah memiliki kerangka hukum yang jelas melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Tindak Pidana Kekesarasan Seksual (TPKS) dan Konvensi Hak Anak. 

Baca juga: Opini: Panas Bumi vs Panas Surya, Menimbang Energi Bersih untuk Masa Depan NTT 

Prinsipnya sederhana: anak adalah korban yang wajib dilindungi, bukan pelaku yang bisa disalahkan. 

Namun di ruang sidang, perdebatan klasik tentang “ persetujuan” anak justru mengaburkan relasi kuasa. 

Dalam ilmu viktimologi, kondisi rentan akibat kemiskinan, tekanan keluarga, dan ketidaksetaraan sosial menjadikan “ persetujuan” anak secara hukum tidak pernah sah. 

Pandangan ini sejalan dengan standar hukum internasional yang meletakkan kepentingan terbaik anak di atas proseduralisme. 

Akan tetapi KUHAP tetap menuntut ketatnya prosedur: laporan resmi, bukti sah, dan mekanisme penyidikan yang jelas. 

Prosedur semestinya menjadi pagar bagi semua pihak, bukan tembok yang membebaskan pelaku. 

Hukum tanpa keadilan adalah tubuh tanpa jiwa, keadilan tanpa hukum hanyalah angan-angan di udara. Kita perlu untuk memadukan keduanya.

Negara Hukum di Persimpangan Era Digital

Kasus mantan Kapolres Ngada memperlihatkan wajah ganda negara hukum. Di satu sisi kita memuja due process of law agar tak ada prosedur yang diabaikan. 

Di sisi lain kita wajib melindungi hak korban anak melalui prinsip kepentingan terbaik anak. 

Kontradiksi ini bukan soal memilih salah satu, melainkan menenun keseimbangan. 

Jika prosedur lebih penting dari substansi, hukum menjadi cangkang kosong, jika substansi mengalahkan prosedur, kita jatuh pada hukum rimba.

Di era digital, tantangan ini makin kompleks. Eksploitasi anak melalui platform daring kerap lolos dari pengawasan karena lemahnya bukti elektronik dan rendahnya koordinasi. 

Padahal, UU ITE untuk penyalahgunaan teknologi, UU TPPO untuk perdagangan orang, UU TPKS untuk kekerasan seksual, serta UU Perlindungan Anak untuk memastikan perlindungan khusus bagi anak. 

Tantangannya terletak pada penegakan. Jika aparat mampu mengintegrasikan keempat regulasi ini dan didukung oleh penyidikan digital (digital forensic) yang memadai, peluang menjerat pelaku akan jauh lebih besar.

Namun, kelemahan di lapangan adalah rendahnya koordinasi antarpenegak hukum dan minimnya kapasitas investigasi digital. 

Akibatnya, bukti yang ada sering dipatahkan di persidangan karena dianggap tidak sah atau tidak cukup kuat. 

Tanpa itu, bukti mudah dipatahkan di pengadilan dan korban kehilangan keadilan. 

Teknologi berlari kencang, hukum tertatih mengejarnya dan diantara keduanya, anak-anak jatuh terantuk batu ketidakadilan.

Kasus Kapolres Ngada adalah peringatan bagi aparat penegak hukum agar tak mengabaikan legal standing, bukti digital, dan tata cara penyidikan. 

Sebagai pemerhati anak ataupun jaksa sebagai pembela anak yang berperspektif pun, wajib hukumnya untuk menaati prosedur hukum akan upaya memperjuangkan hak korban dapat tercapai dengan maksimal. 

Sekali prosedur dilanggar, pelaku bisa bebas dan korban anak terluka dua kali. 

Oleh karena itu, penting memastikan anak selalu dipandang sebagai korban rentan meski tampak “rela” secara lahiriah. 

Persetujuan anak dalam konteks eksploitasi tidak pernah sah secara hukum. 

Kita juga wajib menjaga disiplin prosedural tanpa mengorbankan substansi. Prosedur yang baik memperkuat bukti, bukan melemahkannya. 

Dan pada saat yang sama, bukti digital dan perlindungan psikososial harus diperkuat agar korban tidak kembali menjadi korban kedua kali. 

Tanpa peningkatan kapasitas penyidik, bukti digital mudah dipatahkan di pengadilan dan korban kehilangan peluang untuk mendapat keadilan. 

Anak-anak adalah halaman pertama dari kitab masa depan, bila kita merobeknya hari ini, kita kehilangan cerita esok.

Mengembalikan Hukum ke Pangkuan Nurani

Pada akhirnya, kita boleh berdebat tentang “cacat hukum”, tetapi jangan lupa ada anak-anak di balik kasus ini. 

Mereka bukan hanya angka statistik, melainkan manusia yang hidupnya rusak akibat eksploitasi. 

Negara hukum sejati bukan negara yang paling mahir membuat undang-undang, melainkan negara yang paling konsisten melindungi warganya yang paling rentan. 

Maka, negara hukum sejati adalah negara yang berani berpihak pada yang paling lemah bukan pada yang paling berkuasa.

Perlindungan anak harus ditempatkan di pusat keadilan, bukan di pinggiran prosedur. 

Kalimat-kalimat ini bukan sekadar retorika. Mereka adalah pengingat bahwa hukum tidak hanya terdiri dari pasal dan ayat, tetapi juga keberanian moral dan empati sosial. 

Jika kita membiarkan anak-anak menjadi korban kedua dari prosedur yang cacat, kita sedang mencatatkan sejarah kelam bagi generasi mendatang.

Namun jika kita berani mengembalikan hukum ke pangkuan nurani, kita sedang membangun fondasi negara hukum yang sejati, sebuah negara yang bukan hanya hidup dari undang-undang, tetapi juga dari jiwa yang memuliakan keadilan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved