Breaking News

Opini

Opini: Ketika Hak Prerogatif Terpengaruh Tekanan Dunia Maya

Namun, masalah baru muncul. Pengganti Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa, datang dengan rekam jejak yang kurang dikenal publik. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YAYAN SAKTI SURYANDARU
Yayan Sakti Suryandaru 

Situasi ini menguatkan kekhawatiran bahwa keputusan yang terburu-buru dan terpengaruh desakan publik, menghasilkan pilihan yang tidak matang. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru. 

Dilema Literasi Digital dan Tekanan Politik

Fenomena ini bukanlah hal baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara, tekanan publik, termasuk melalui media sosial, telah memaksa menteri untuk mundur atau memengaruhi pemilihan kabinet. 

Pada 2021, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock terpaksa mundur setelah rekaman CCTV yang menunjukkan ia melanggar aturan jaga jarak COVID-19 tersebar luas. 

Skandal ini, yang memicu kemarahan publik di media sosial, menunjukkan bagaimana satu kesalahan yang terekspos dapat merusak kredibilitas pejabat dan memaksa keputusan politik, meskipun perdana menteri awalnya enggan.

Di Australia pada 2018, Perdana Menteri Malcolm Turnbull digulingkan oleh partainya sendiri, bukan karena skandal personal, melainkan karena gejolak internal yang diperkuat oleh kritik publik terhadap kebijakan energi. 

Ini membuktikan bahwa tekanan publik, bahkan tanpa skandal langsung, dapat memicu ketidakstabilan politik dan pergantian kepemimpinan.

Meskipun publik sama-sama memberikan tekanan di media sosial, aktivisme digital di banyak negara maju seringkali didukung oleh literasi digital yang lebih tinggi dan kesadaran kritis yang kuat. 

Berbeda dengan konteks Indonesia, laju penyebaran informasi seringkali lebih cepat dari kemampuan analisisnya. 

Berdasarkan hasil riset dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam laman pandu.komdigi.go.id, Indeks Literasi Digital Indonesia tahun 2024 masih berada di angka 3.78 dari skala 5 (kategori sedang). 

Angka ini dapat dipersepsi bahwa meskipun akses internet dan media sosial sudah meluas, kemampuan masyarakat untuk menggunakan alat-alat ini secara bijak masih terbatas. 

Hal ini menjadikan ruang publik digital rentan terhadap manipulasi dan emosi, yang pada akhirnya dapat memengaruhi keputusan politik seperti dalam kasus penggantian menteri.

Maka, saat seorang presiden mengambil keputusan strategis berdasarkan arus opini yang rentan dimanipulasi dan berlandaskan emosi, bukan fakta, stabilitas pemerintahan bisa terancam. 

Keputusan yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang, kini seolah-olah tunduk pada popularitas sesaat di lini masa.

Agenda ke Depan

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved