Opini
Opini: Polisi dalam Dilema Moral
Jika dipandang dari kacamata RAT (right answer thesis), maka keputusannya salah dan sanksi PTDH adalah jawaban yang benar.
Padahal, ada lapisan struktural yang lebih besar. Demonstrasi itu sendiri adalah bentuk protes terhadap pemerintah dan DPR.
Polisi diturunkan sebagai benteng negara menghadapi rakyatnya sendiri.
Dengan kata lain, aparat ditempatkan pada posisi mustahil: menjaga keamanan negara sekaligus berhadapan dengan aspirasi warganya.
Di sinilah letak ironi.
Negara menempatkan aparat di garis depan tanpa memberi ruang refleksi moral, lalu ketika tragedi terjadi, tanggung jawab sepenuhnya dibebankan pada individu aparat.
Pemberhentian tidak dengan hormat menjadi semacam “politik scapegoating”: menenangkan amarah publik dengan mengorbankan satu figur, tanpa membenahi akar persoalan.
Hukum dan Keadilan Substantif
Hukum seharusnya bukan sekadar teks, melainkan juga instrumen untuk menghadirkan keadilan substantif. Dalam kerangka itu, keputusan PTDH terhadap Kompol Kosmas terasa problematis.
Apakah sanksi administratif yang lebih ringan tidak lebih adil? Apakah faktor darurat tidak layak dipertimbangkan?
Apakah kita tidak seharusnya melihat konteks, alih-alih sekadar menegakkan aturan secara kaku?
Seperti diingatkan Dworkin (1977), hukum harus dipahami sebagai integrity, yakni kesatuan prinsip moral dan hukum.
Jika hukum dipisahkan dari moralitas, kita berisiko menegakkan legalitas tanpa keadilan.
Kasus Kompol Cosmas Gae menunjukkan bagaimana dilema moral dan kasus sulit bisa bersinggungan secara tragis. Secara moral, ia terjebak dalam situasi di mana semua pilihannya salah.
Secara hukum, pengadilan internal kepolisian harus menentukan apakah tindakannya proporsional atau eksesif.
Namun, memutus pemecatan tidak dengan hormat tanpa mempertimbangkan kompleksitas situasi adalah bentuk keadilan yang pincang.
Kita perlu belajar bahwa hukum tidak bisa buta terhadap tragedi moral. Hukuman seharusnya tidak menambah luka, tetapi menyembuhkan.
Kompol Cosmas Gae memang bertanggung jawab, tetapi tanggung jawab itu tidak bisa dilepaskan dari struktur negara yang menempatkannya dalam dilema mustahil.
Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih besar adalah: kapan negara mau belajar bahwa menjaga keadilan berarti juga menjaga kemanusiaan, baik bagi rakyat maupun bagi aparatnya? (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.