Opini
Opini: Polisi dalam Dilema Moral
Jika dipandang dari kacamata RAT (right answer thesis), maka keputusannya salah dan sanksi PTDH adalah jawaban yang benar.
Oleh: John Mai
Mahasiswa Magister Filsafat Universitas Gadjah Mada
POS-KUPANG.COM - Kasus pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae, seorang komisaris polisi yang terjerat kasus kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang terlindas mobil taktis Brimob saat demonstrasi di kawasan Pejompongan, Jakarta, kembali memantik perdebatan publik.
Majelis Komisi Kode Etik Polri menyatakan Kosmas terbukti melanggar prosedur pengendalian massa, sehingga dijatuhi sanksi berat berupa PTDH (Kompas.id, 30/8/2025).
Namun, kasus ini menyisakan pertanyaan mendalam: apakah ia benar-benar pantas dipersalahkan sepenuhnya, ataukah keputusan ini justru menutup mata terhadap kenyataan bahwa aparat juga bisa terjebak dalam dilema moral?
Dilema Moral
Dalam filsafat moral, dilema moral didefinisikan sebagai situasi di mana seorang agen dihadapkan pada dua kewajiban yang sama-sama tak bisa dihindari dan tidak kompatibel.
Baca juga: Opini: Cosmas Kaju Gae dan Lystio Sigit Prabowo
Ruth Barcan Marcus (1980) menyebutnya sebagai bentuk “kesalahan yang tak terhindarkan” (unavoidable wrongdoing).
Dalam dilema moral sejati, semua pilihan yang tersedia melanggar kewajiban mendasar.
Kasus Kompol Cosmas Gae dapat dipandang melalui kacamata ini. Di satu sisi, ia memiliki kewajiban untuk melindungi keselamatan anggota kepolisian dan dirinya sendiri.
Di sisi lain, ia juga memiliki kewajiban untuk melindungi nyawa warga sipil, apalagi dalam konteks pengamanan demonstrasi yang seharusnya menjunjung asas proporsionalitas.
Kedua kewajiban ini bertabrakan secara frontal, sehingga apa pun yang dipilihnya tetap akan meninggalkan “sisa moral” berupa rasa bersalah, penyesalan, atau tuduhan pelanggaran.
Greenspan (1983) membedakan antara dilema moral sejati, seperti pilihan Sophie yang harus memilih salah satu anaknya untuk hidup, dengan situasi kompleks yang masih memungkinkan adanya satu jawaban benar.
Dalam kasus Kompol Cosmas Gae, sulit untuk mengatakan bahwa ada satu pilihan yang sepenuhnya benar: tidak menerobos berarti membiarkan aparat dihajar massa, sementara menerobos berarti mengorbankan warga sipil.
Kasus Sulit dalam Hukum
Dalam filsafat hukum, situasi seperti ini sering disebut hard case. Ronald Dworkin (1977) melalui tesis “jawaban yang benar” berargumen bahwa hakim, meskipun menghadapi ambiguitas, tetap dapat menemukan satu jawaban yang benar dan unik.
Sebaliknya, penganut tesis “tanpa jawaban benar” berpendapat bahwa dalam kasus sulit, hakim memiliki ruang keleluasaan (judicial discretion) untuk memilih salah satu dari beberapa jawaban yang sama-sama sah.
Kasus Kompol Cosmas Gae jelas merupakan kasus sulit. Pertanyaan hukumnya: apakah tindakannya sesuai asas proporsionalitas penggunaan kekuatan, ataukah tindakannya eksesif dan melanggar hukum?
Jika dipandang dari kacamata RAT (right answer thesis), maka keputusannya salah dan sanksi PTDH adalah jawaban yang benar.
Tetapi jika dipandang dari perspektif N-RAT (no right answer thesis), maka ada ruang pertimbangan: situasi darurat bisa menjadi faktor pemaaf, sehingga pemecatan tidak dengan hormat terasa berlebihan.
Perspektif Etika
Dalam etika deontologis ala Kant, memperlakukan manusia semata sebagai alat adalah salah. Dengan demikian, menabrak massa untuk menyelamatkan diri bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Namun, Kant juga mengakui adanya konflik kewajiban yang kadang tidak dapat dihindari.
Sebaliknya, utilitarianisme menawarkan sudut pandang berbeda: tindakan yang benar adalah yang menghasilkan konsekuensi terbaik bagi jumlah orang terbanyak.
Jika pilihan Kompol Kosmas menyelamatkan banyak aparat dari potensi pengeroyokan meski mengorbankan satu nyawa, seorang utilitarian bisa membenarkan tindakannya.
Thomas Nagel (1979) menyebut situasi seperti ini sebagai “the tragedy of moral conflict”—tragedi ketika semua pilihan buruk dan tidak ada yang bebas dari noda moral.
Jean-Paul Sartre (1946) menegaskan bahwa manusia selalu bebas, bahkan dalam situasi paling sempit. Kebebasan itu berarti tanggung jawab penuh.
Cosmas Kaju Gae, dalam kerangka Sartrean, memang bebas memilih menerobos massa, dan karena itu ia bertanggung jawab atas konsekuensinya.
Namun kebebasan ini terjadi dalam kerangkeng situasi tragis. Ia bebas, tetapi kebebasannya dikurung oleh kenyataan bahwa semua pilihannya buruk.
Aspek Politik dan Struktural
Jika kita berhenti pada analisis moral individu, seakan semua tanggung jawab ditimpakan kepada Kompol cosmas.
Padahal, ada lapisan struktural yang lebih besar. Demonstrasi itu sendiri adalah bentuk protes terhadap pemerintah dan DPR.
Polisi diturunkan sebagai benteng negara menghadapi rakyatnya sendiri.
Dengan kata lain, aparat ditempatkan pada posisi mustahil: menjaga keamanan negara sekaligus berhadapan dengan aspirasi warganya.
Di sinilah letak ironi.
Negara menempatkan aparat di garis depan tanpa memberi ruang refleksi moral, lalu ketika tragedi terjadi, tanggung jawab sepenuhnya dibebankan pada individu aparat.
Pemberhentian tidak dengan hormat menjadi semacam “politik scapegoating”: menenangkan amarah publik dengan mengorbankan satu figur, tanpa membenahi akar persoalan.
Hukum dan Keadilan Substantif
Hukum seharusnya bukan sekadar teks, melainkan juga instrumen untuk menghadirkan keadilan substantif. Dalam kerangka itu, keputusan PTDH terhadap Kompol Kosmas terasa problematis.
Apakah sanksi administratif yang lebih ringan tidak lebih adil? Apakah faktor darurat tidak layak dipertimbangkan?
Apakah kita tidak seharusnya melihat konteks, alih-alih sekadar menegakkan aturan secara kaku?
Seperti diingatkan Dworkin (1977), hukum harus dipahami sebagai integrity, yakni kesatuan prinsip moral dan hukum.
Jika hukum dipisahkan dari moralitas, kita berisiko menegakkan legalitas tanpa keadilan.
Kasus Kompol Cosmas Gae menunjukkan bagaimana dilema moral dan kasus sulit bisa bersinggungan secara tragis. Secara moral, ia terjebak dalam situasi di mana semua pilihannya salah.
Secara hukum, pengadilan internal kepolisian harus menentukan apakah tindakannya proporsional atau eksesif.
Namun, memutus pemecatan tidak dengan hormat tanpa mempertimbangkan kompleksitas situasi adalah bentuk keadilan yang pincang.
Kita perlu belajar bahwa hukum tidak bisa buta terhadap tragedi moral. Hukuman seharusnya tidak menambah luka, tetapi menyembuhkan.
Kompol Cosmas Gae memang bertanggung jawab, tetapi tanggung jawab itu tidak bisa dilepaskan dari struktur negara yang menempatkannya dalam dilema mustahil.
Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih besar adalah: kapan negara mau belajar bahwa menjaga keadilan berarti juga menjaga kemanusiaan, baik bagi rakyat maupun bagi aparatnya? (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.