Opini
Opini - Geotermal NTT: Sains Bicara Alam Menjawab
Pemerintah melihat potensi listrik, tetapi warga khawatir air danau—sumber hidup dan ekowisata—tercemar gas beracun.
Mataloko, Ngada. Proyek yang dimulai 1980-an ini sering disebut mangkrak. Sumur-sumur bor dibiarkan terbuka, mengeluarkan uap belerang.
Belakangan muncul fenomena baru: gas dan lumpur panas menyembur di rumah warga dan lahan pertanian.
Warga mengeluh sumber air berkurang dan sawah mengering - tidak produktif, bau menyengat mengganggu kesehatan.
Secara ilmiah, ini akibat tekanan panas bumi yang mencari jalur keluar. Tetapi bagi masyarakat, ini tanda “alam sedang marah”.
Kajian oleh Hidayat dkk. (2019) mencatat adanya perubahan debit air tanah di sekitar area pengeboran.
Semua contoh ini menunjukkan satu hal: alam memang tidak pernah diam.
Ia tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi menjawab dengan caranya sendiri—air yang tiba-tiba surut, tanah yang retak, atau bau belerang yang makin pekat.
Data, Fakta, dan Kehidupan Sehari-hari
Bagi ilmuwan, geotermal dihitung dengan angka-angka: suhu reservoir, potensi megawatt, biaya produksi per kilowatt jam.
Tapi bagi masyarakat lokal, ukurannya sederhana: apakah air masih mengalir di sumur mereka, apakah tanah masih subur untuk bercocok tanam, apakah anak cucu masih bisa tinggal di kampung halaman?
Di sinilah sering muncul kesenjangan. Menurut penelitian Lassa (2021 - Undana), konflik sosial dalam proyek energi di NTT kerap dipicu karena masyarakat tidak diajak bicara sejak awal.
Mereka hanya menerima keputusan “dari atas”, tanpa ruang cukup untuk menyampaikan kekhawatiran.
Energi dan Identitas Budaya
Flores – Manggarai dan Ngada – bukan sekadar titik di peta energi. Tanah dan hutan di sana punya makna budaya dan spiritual.
Dalam tradisi Manggarai, misalnya, tanah ulayat adalah warisan leluhur yang harus dijaga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.