Opini

Opini: Demokrasi dalam Kebijakan Tong Sampah

Pajak dinaikkan di sisi lain memberatkan rakyat, sementara ruang fiskal lain justru dihamburkan untuk fasilitas pejabat. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI MARINI SARI DEWI SEGER
Marini Sari Dewi Seger 

Kenaikan pangkat bagi anggota polisi yang mengawal demo adalah ilustrasi betapa kebijakan dapat meluncur tanpa logika yang sehat. Apa sebenarnya masalah yang hendak diselesaikan? 

Apakah pengawalan demonstrasi kini dianggap prestasi langka yang harus diberi penghargaan? 

Padahal, masalah utama yang seharusnya diselesaikan adalah ketimpangan kebijakan fiskal, korupsi, hingga pemborosan anggaran negara. 

Namun alih-alih menjadi fokus, masalah tersebut justru disingkirkan dari meja. 

Di sinilah logika Garbage Can bekerja, masalah “beban fiskal” bertemu dengan solusi “kenaikan pangkat” yang kebetulan sudah siap dijalankan tanpa ada upaya serius untuk menimbang keadilan atau efisiensi yang ada hanyalah pertemuan pragmatis yang mengorbankan rakyat kecil. 

Kebijakan publik akhirnya tidak berjalan sebagai instrumen untuk menata kehidupan bersama, melainkan menjadi arena pertukaran simbolik. 

Di dalamnya, aktor-aktor politik berupaya menampilkan diri seolah sedang menyelesaikan persoalan bangsa, padahal yang mereka lakukan adalah memanfaatkan kesempatan untuk mengukuhkan kepentingan sendiri. 

Kebijakan yang tidak adil adalah wajah paling telanjang dari logika tong sampah ini. 

Alih-alih menjadi menyelesaikan masalah, kebijakan diperlakukan sebagai arena kompromi elite tanpa peduli apakah masalah publik sungguh-sungguh diselesaikan.

Tong Sampah Demokrasi

Kebijakan publik dalam negara demokrasi seharusnya dilandasi policy rationality. 

Artinya, setiap kebijakan mesti melalui proses identifikasi masalah publik, perumusan tujuan, penentuan alternatif, hingga evaluasi dampak. 

Tetapi realitas menunjukkan betapa teori rasional itu kerap kalah oleh arus politik yang serba cair. 

Menggunakan kacamata Garbage Can, dapat dipahami bahwa yang kita saksikan bukan sekadar kebijakan yang tidak adil, melainkan proses pengambilan keputusan yang memang dibiarkan cair, acak, dan oportunistik. 

Demokrasi yang seharusnya menjadi mekanisme deliberasi publik justru tereduksi menjadi arena di mana kebijakan lahir dari keterhubungan acak antara masalah, solusi, dan aktor. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved