Opini

Opini: Manajemen Risiko sebagai Fondasi Kampus Berdampak di Nusa Tenggara Timur  

Tanpa manajemen risiko yang sistematis, kampus akan selalu berada dalam posisi rentan: terhadap krisis keuangan

|
Editor: Sipri Seko
DOKUMENTASI PRIBADI DEFORD N LAKAPU
Deford Nasareno Lakapu 

Riset, inovasi, dan pengabdian masyarakat dapat diarahkan untuk menjawab kebutuhan lokal yang nyata.

Program pengembangan teknologi tepat guna untuk petani dan nelayan, riset kebijakan kesehatan yang menekan prevalensi stunting, atau inovasi digital yang membuka akses pasar bagi UMKM lokal hanya dapat berjalan efektif jika institusi yang melaksanakannya memiliki fondasi tata kelola yang kokoh.

Namun, untuk sampai pada titik tersebut, ada beberapa langkah penting yang perlu ditempuh secara kolektif.

 Pertama, setiap perguruan tinggi di NTT harus mengadopsi kerangka manajemen risiko yang berstandar internasional seperti ISO 31000, bukan hanya secara formalitas, tetapi dengan implementasi nyata di lapangan.

Kedua, perlu dibentuk unit khusus atau tim manajemen risiko di bawah koordinasi rektorat yang diberi mandat jelas dan sumber daya memadai, serta dukungan politik internal yang kuat.

Ketiga, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah XV perlu mengambil peran lebih aktif dengan menyelenggarakan bimbingan teknis, pendampingan, dan supervisi berkala terkait manajemen risiko.

Keempat, indikator risiko harus diintegrasikan dalam instrumen akreditasi, Renstra, dan Renop setiap perguruan tinggi agar tidak ada lagi kesenjangan antara perencanaan di atas kertas dan pelaksanaan di lapangan.

Kelima, proses monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara periodik dengan melibatkan pemangku kepentingan eksternal, termasuk pemerintah daerah, mitra industri, dan masyarakat sipil. Semuanya ini harus terinisiasi dalam sebuah Roadmap menuju 2035: Risk-Based Governance untuk Pendidikan Tinggi NTT.

Di tengah tantangan tersebut, Universitas Nusa Cendana (UNDANA) memberi secercah harapan. UNDANA telah meraih Akreditasi Unggul dan saat ini merupakan satu satunya kampus di NTT yang menyandang predikat itu.

Jika kita telisik lebih dalam, penerapan manajemen risiko institusional menjadi salah satu alasan penting mendapat predikat itu. Sistem mereka mencakup pemetaan risiko strategis, penguatan tata kelola digital, dan pelibatan multi-pemangku kepentingan dalam mitigasi risiko.

Langkah UNDANA ini membuktikan bahwa manajemen risiko bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan kunci daya saing akademik.

Dengan model yang mereka bangun, UNDANA menjadi kandidat kuat untuk membentuk pusat konsorsium risiko kampus NTT, yang dapat mengakselerasi transformasi di perguruan tinggi lain.

Sayangnya, UNDANA masih seperti oase di padang luas. Banyak perguruan tinggi lain di NTT belum menjadikan manajemen risiko sebagai prioritas. Budaya kampus yang konservatif kerap menganggap risiko sebagai aib yang harus disembunyikan, bukan dikelola.

Ada ketakutan bahwa jika kelemahan dibuka, citra institusi akan rusak. Akibatnya, risk register tidak diperbarui, audit risiko berjalan setengah hati, dan laporan tahunan lebih banyak berhias retorika ketimbang langkah nyata.

Perguruan tinggi di NTT sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi pusat inovasi, agen perubahan sosial, dan motor penggerak ekonomi daerah.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved