Opini

Opini: Manajemen Risiko sebagai Fondasi Kampus Berdampak di Nusa Tenggara Timur  

Tanpa manajemen risiko yang sistematis, kampus akan selalu berada dalam posisi rentan: terhadap krisis keuangan

|
Editor: Sipri Seko
DOKUMENTASI PRIBADI DEFORD N LAKAPU
Deford Nasareno Lakapu 

Situasi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan struktural yang menghambat akselerasi perguruan tinggi di NTT untuk benar-benar menjadi kampus berdampak. Salah satu akar masalah yang sering luput mendapat perhatian adalah lemahnya penerapan manajemen risiko di lingkungan kampus.

Perguruan tinggi adalah institusi yang kompleks. Mereka mengelola dana yang tidak kecil, mengatur ribuan sumber daya manusia baik akademik maupun non-akademik, memegang reputasi publik yang harus dijaga, dan menjadi tumpuan kepercayaan masyarakat.

Tanpa manajemen risiko yang sistematis, kampus akan selalu berada dalam posisi rentan: terhadap krisis keuangan, perubahan kebijakan pemerintah yang mendadak, konflik internal, bahkan ancaman bencana alam yang nyata di wilayah kepulauan seperti NTT.

Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Sesditjen Dikti) Prof. Dr. Med. Setiawan, dr, dalam salah satu keterangannya yang dimuat di laman resmi Kemdiktisaintek menyatakan bahwa “manajemen risiko yang baik adalah pondasi utama bagi terwujudnya perguruan tinggi berdampak”.

Pernyataan ini bukan sekadar seruan administratif, melainkan cerminan arah kebijakan nasional yang menuntut kampus-kampus di seluruh Indonesia, termasuk di daerah kepulauan timur seperti NTT, untuk membangun budaya risiko yang sehat.

Manajemen risiko tidak lagi dapat dipandang sebagai dokumen pelengkap akreditasi, tetapi harus diintegrasikan dalam setiap denyut perencanaan strategis kampus, mulai dari penyusunan Renstra, Renop, hingga implementasi program tridharma.

Konsep yang digarisbawahi oleh Kemdiktisaintek tersebut sejalan dengan kerangka internasional, khususnya ISO 31000:2018, yang mendorong integrasi proses risiko ke dalam seluruh aspek organisasi.

Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya proses berlapis yang meliputi identifikasi risiko, analisis mendalam, strategi mitigasi, pemantauan berkala, hingga komunikasi risiko yang transparan kepada seluruh pemangku kepentingan. 

Beberapa universitas besar di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mempraktikkan struktur tata kelola yang kuat melalui pendekatan three lines of defense mulai dari Komite Audit, unit manajemen risiko, hingga Kantor Audit Internal yang secara sinergis bekerja mengawal kualitas keputusan strategis kampus.

Pendekatan semacam ini bisa menjadi rujukan yang relevan bagi perguruan tinggi di NTT untuk diadopsi secara kontekstual sesuai kapasitas dan karakteristik masing-masing.

Penerapan manajemen risiko yang terstruktur bukan sekadar urusan teknis, tetapi memiliki dampak jangka panjang yang signifikan.

 Dengan manajemen risiko yang matang, perguruan tinggi di NTT dapat meningkatkan ketahanan kelembagaan mereka dalam menghadapi tantangan alam, finansial, maupun regulasi yang sering berubah.

Lebih jauh, hal ini juga memungkinkan kampus untuk mengambil keputusan berbasis data yang lebih proaktif ketimbang hanya merespons masalah ketika sudah muncul ke permukaan. Kepercayaan publik pun akan semakin kuat, baik terhadap kualitas perguruan tinggi negeri maupun swasta di NTT.

Dalam jangka menengah hingga panjang, penerapan manajemen risiko yang baik akan menjadi salah satu kunci akselerasi akreditasi unggul, karena ia menjadi fondasi dari perencanaan strategis kampus yang terukur dan akuntabel.

Di tengah berbagai masalah sosial yang masih menghantui NTT mulai dari tingginya angka stunting, kemiskinan yang membelenggu sebagian besar wilayah pedesaan, hingga ketimpangan lapangan kerja, perguruan tinggi dengan manajemen risiko yang baik akan lebih siap menjadi agen perubahan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved