Opini

Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran

Secara historis-etimologis, kata hoaks mulai dikenal pada tahun 1796. Ddalam bahasa Inggris — hoax— tergolong ke dalam kata kerja .

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI VIKTORIUS P FEKA
Viktorius P. Feka 

Oleh Viktorius P. Feka
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Citra Bangsa, Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Hoaks yang masih santer merambah dan menjarah dunia kebahasaan kita saat ini bukan merupakan istilah baru. Ia telah lama dikenal walau bukan dengan nama hoaks pada mulanya. 

Secara historis-etimologis, kata hoaks mulai dikenal pada tahun 1796. Ddalam bahasa Inggris — hoax— tergolong ke dalam kata kerja (verba) yang berarti mengejek; menipu dengan rekayasa atau fabrikasi. 

Pada tahun 1808, kata hoax mulai dikategorikan ke dalam kata benda (nomina). Ini kemungkinan merupakan perubahan dari kata hocus yang berarti "pesulap, penipu, penyesat" (1630-an dan 1680-an); atau langsung berasal dari hocus-pocus (lihat, https://www.etymonline.com/word/hoax). 

Di Inggris, istilah hoax mulai dikenal dan digunakan pada abad ke-18 kala Robert Nares memublikasikan bukunya “A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs” pada tahun 1822—membahas asal-usul kata hoaks. 

Baca juga: Awas Hoaks! Pendaftaran Seleksi CPNS 2025 Belum Dibuka, Menpan RB Tegaskan Tunggu Izin Prabowo

Disebutkan bahwa kata tersebut berasal dari "hocus" yang merupakan bagian dari frase "hocus pocus"—semacam mantra yang biasa diucapkan oleh para penyihir. 

Frase tersebut diduga berasal dari nama seorang penyihir terkenal asal Italia bernama Ochus Bochus, kemudian diadopsi oleh para pesulap sebagai bagian dari pertunjukan sulap mereka (lihat, Badriah dalam gramedia.com/literasi/pengertian-hoaks/?srsltid=AfmBOoonoE3SXM GAPJQGzbxKUexl4J8ZIM53p_TJEIOysv5ncmcpFtN).  

Dalam bahasa Indonesia, kata hoaks diserap dari kata bahasa Inggris “hoax”, yang diwatasi sebagai informasi bohong  (lihat, KBBI VI versi daring). 

Seturut asal-muasal kata hoaks, dalam praktiknya, sejatinya, hoaks telah ada di Taman Eden. Ini bisa kita temukan pada kisah Adam dan Hawa, manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa (lihat, Kejadian, 3:1-24).  

Taman indah ini mulai dinodai dengan hoaks, yang ditandai dengan bagaimana kebohongan dikonstruksi dan diterima. Iblis yang tampil dalam wujud ular merupakan aktor utama konstruksi kebohongan. 

Ular, simbol penyesat, memperdaya Hawa bahwa memakan buah dari pohon terlarang tidak akan mengakibatkan kematian, melainkan akan membuka pengetahuan dan menjadikan manusia seperti Tuhan. Ini adalah bentuk hoaks pertama dalam sejarah umat manusia sesungguhnya. 

Dalam terang lingusitik kognitif, ular mengoperasikan hoaks dengan jalan memanipulasi bahasa dan cara berpikir Hawa untuk memetik dan memakan buah terlarang. 

Di sini bahasa bukanlah sekadar simbol, melainkan juga cermin dari cara kerja pikiran manusia sebagaimana disentil Chomsky dalam bukunya “Language and Mind” (2006) bahwa bahasa merupakan cermin pikiran manusia. 

Bahasa dipandang sebagai hasil dari proses konseptualisasi: bagaimana manusia memahami dan memodelkan dunia. 

Dalam pendekatan ini, makna tidak melekat secara tetap pada kata, tetapi dibentuk oleh pengalaman, konteks budaya, dan skema berpikir, yang ada di kepala manusia. 

Dalam kisah Taman Eden, hoaks muncul dalam bentuk ujaran persuasif yang mengubah kerangka berpikir Hawa. 

Saat ular berkata : “Sekali-kali kamu tidak akan mati,” (lihat, Kejadian, 3: 4), pernyataan itu bukan sekadar bantahan atas larangan Tuhan, melainkan juga representasi dari reframing (pembingkaian kembali), yaitu mengubah cara suatu konsep dipahami dengan menyusun ulang kerangka konseptualnya. 

Tuhan membingkai pohon itu sebagai simbol larangan dan batas, tetapi ular membingkainya sebagai sumber pencerahan dan kekuasaan. 

Melalui jalan ini, Hawa tak sekadar  diyakinkan oleh kata-kata, tapi juga oleh cara baru dalam melihat dunia. 

Perkataan ular mengubah pikiran Hawa bahwa seolah Tuhan berkata bohong ihwal larangan memetik dan memakan buah terlarang. 

Alhasil, ketaatan Hawa berubah menjadi pembangkangan terhadap perintah dan larangan Tuhan.

Masih dalam konteks linguistik kognitif, hoaks juga bekerja melalui mental spaces dan blending (penggabungan ruang mental) sebagaimana dikemukakan Fauconier dan Turner (2002) bahwa dalam berbahasa, manusia membangun berbagai ruang mental—representasi situasi alternatif—dan sering kali mencampurkan ruang-ruang tersebut untuk membentuk makna baru. 

Dalam hal ini, Hawa mulai menciptakan ruang mental baru yang bertentangan dengan ruang realitas sebelumnya, yaitu Hawa yang pada hakikatnya hanyalah manusia biasa mulai membayangkan dirinya menjadi seperti Tuhan. 

Hawa ingin menjadi Tuhan. Ini terjadi karena informasi yang disampaikan oleh ular seolah-olah benar adanya. 

Hawa mengira bahwa Tuhan telah menipunya dengan larangan memakan buah terlarang, buah pengetahuan. 

Padahal, sejatinya, ularlah yang telah memperdayai Hawa untuk mengubah ruang mentalnya yang sebenarnya ke ruang hasrat memetik dan memakan buah terlarang. 

Hawa tidak lagi menalar bahwa manusia tetaplah manusia, atau manusia tidaklah bisa menjelma menjadi Tuhan, akan tetapi ia tetap menindaklanjuti rayuan si ular untuk memetik dan memakan buah terlarang. 

Pada kasus ini, ular berhasil mengotak-atik pikiran Hawa bahwa otoritas ilahi ada juga pada manusia. 

Bahwa otoritas untuk mencipta dan mengendalikan alam semesta beserta segala isinya dapat juga dilakukan oleh manusia asalkan setelah memakan buah terlarang. 

Jelas di sini bahwa “otoritas dapat keliru”, “terdapat pengetahuan baru yang tidak disingkap”, atau barang kali “ada yang hendak mengontrol kita” adalah kerangka kognitif yang sangat kuat dan mudah dipicu oleh wacana hoaks

Di Taman Eden, ular menggunakan narasi yang seolah membuka kebenaran tersembunyi yang Tuhan sembunyikan. 

Ular menyulap kebenaran ilahi menjadi kebatilan, lalu menyodorkannya kepada Hawa. Pola pikir Hawa terjerembab ke dalam wacana pemelintiran fakta, begitu pula Adam. 

Fenomena ini, dalam kacamata linguistik kognitif, pemahaman bahasa sangat bergantung pada embodiment—keterhubungan antara tubuh, pengalaman sensorik, dan konsep. 

Maka, kata-kata, seperti “terbuka”, “melihat”, “tersingkap” dalam ujaran ular bekerja bukan hanya secara simbolik, melainkan juga aktivasi pengalaman sensorik Hawa, juga Adam, tentang mengetahui dan mengalami. Ini memperkuat efek sugesti yang terjadi dalam proses kognitif mereka.

Lebih jauh, hal ini bisa kita kupas dengan pisau metafora konseptual yang dikembangkan Lakoff dan Johnson (1980) mengenai bagaimana bahasa, termasuk hoaks bekerja dalam pikiran. 

Dalam kerangka ini, banyak pemikiran manusia dibentuk oleh metafora tak sadar. Di Taman Eden, kita dapat menjumpai metafora konseptual implisit, seperti “pengetahuan adalah cahaya”, “larangan adalah penjara”. Ular menggunakan metafora-metafora ini  untuk memengaruhi persepsi Hawa. 

Dalam konteks inilah hoaks bukan hanya soal informasi salah, melainkan soal manipulasi kerangka konseptual yang mengubah cara pandang Hawa secara khusus dan manusia secara umum dalam memahami realitas. 

Pada metafora konseptual “pengetahuan adalah cahaya”,  ular mengubah konsep pengetahuan (ranah target) ke dalam konsep cahaya (ranah sumber). 

Pengetahuan dikonsepkan sebagai cahaya dengan pemetaan metafora konseptualnya adalah ketidaktahuan sama dengan kegelapan, pencerahan sama dengan melihat sesuatu yang tersembunyi, dan makan buah terlarang dianggap menyalakan lampu dalam ruangan yang sebelumnya gelap. 

Di sini, dapat dikatakan bahwa sebelum Hawa, juga Adam makan buah terlarang, mereka ada dalam kegelapan: tidak mengetahui yang baik dan yang jahat. 

Lalu, ular menawarkan cahaya dengan berkata: “Kamu akan menjadi seperti Allah, yang mengetahui mana yang baik dan mana yang jahat” (lihat, Kejadian, 3:5).  

Setelah memakan buah terlarang, mata Hawa, juga Adam, terbuka. Mereka dapat melihat ketelanjangan mereka dan merasa malu. 

Di sini tampak cahaya membawa kebenaran, tapi serentak menawarkan ketidaknyamanan. 

Hawa dan Adam tercerahkan dengan mampu mengetahui mana yang baik dan yang jahat, tapi sekaligus mengetahui bahwa penderitaan dan malapetaka telah menyongsong mereka. Dalam metafora ini, ular bukan hanya penipu, melainkan seolah pemberi terang. 

Buah bukan sekadar dosa, melainkan lentera pemahaman. Namun, ternyata cahaya ini memancarkan beban kesadaran atas dosa dan penderitaan. 

Pada metafora konseptual “larangan adalah penjara”, ular menyulap konsep larangan (ranah target) ke dalam konsep penjara (ranah sumber). 

Larangan dikonsepkan sebagai penjara, dengan pemetaan  metafora konseptualnya adalah hukum  sama dengan jeruji, ketaatan berubah mejadi keterkurungan, pelanggaran hukum berarti pembebasan atau pelarian. 

Larangan Tuhan di Taman Eden atas buah pengetahuan dianggap sebagai tembok yang membatasi kebebasan kognitif manusia. 

Ular memosisikan larangan ini sebagai pengekangan: “Tuhan tahu jika kamu sudah memakannya, kamu akan menjadi seperti Dia” (bdk, Kejadian, 3:5). 

Hawa, dalam narasi ini, membebaskan diri dari penjara kepolosan melalui tindakan pembangkangan. 

Namun, pembebasan ini mesti dibayar mahal: mereka diusir dari taman, kehilangan keabadian dan kebahagiaan, serta harus menanggung penderitaan dan maut. 

Jadi, dalam metafora ini, tindakan Hawa bukan semata-mata dosa, melainkan bentuk pembebasan dari pengekangan ilahi. 

Akan tetapi, seperti dalam banyak kisah pelarian, kebebasan datang dengan konsekuensi kehilangan perlindungan dan munculnya penderitaan. 

Di sini kita dapat mengatakan: “Kebenaran memang membebaskan, tapi serempak menghukum”.

Di Eden modern, hoaks tetap beroperasi dengan pola kognitif yang sama. Hoaks tak hanya disusun dengan kata-kata yang salah, tapi juga dengan cara distribusi yang menyasar kerangka konseptual dan emosional tertentu. 

Bahasa yang digunakan dalam hoaks sangatlah berbeda dari yang digunakan untuk menyatakan kebenaran sejati, yakni bahasa hoaks sering kali memanfaatkan metafora yang kuat, generalisasi emosional, dan penekanan pada “pencerahan alternatif” atau “kebenaran yang disembunyikan”. 

Dalam konteks ini, linguistik kognitif menyediakan alat untuk memahami bahwa pemprosesan bahasa bukan hanya soal makna literal, tapi juga bagaimana makna itu dibentuk oleh pikiran dan budaya.

Di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, hoaks pun tak dapat dibendung. Pengemasan hoaks sering kali dilakukan dengan mode riset ilmiah. 

Berkedok riset, data dimanipulasi-rekayasa, lalu dianalisis dengan metode atau pendekatan yang pas seturut teorinya, dan disajikan secara ilmiah seolah itu adalah kebenaran ilmiah dari hasil kerja benaran di lapangan. 

Padahal, itu hanyalah hasil dari duduk berpangku tangan di belakang meja. Data fiktif disihir menjadi data sungguhan semacam data tersebut diperoleh langsung dari lapangan. 

Bahkan, ada kalanya data diperoleh dari berbagai sumber tanpa  verifikasi validasi. Ini adalah bentuk hoaks ilmiah yang kerap terjadi dan dilakonkan.  

Pada akhirnya, kita tak boleh mudah tergoda untuk memetik dan memakan buah terlarang “hoaks” dari taman eden modern, tetapi kita perlu cermat dan bijak. 

Ini bisa kita lakukan dengan menalar, menyangsikan, dan memverifikasi fakta (data) yang diperoleh. 

Kita mesti berikhtiar menciptakan lingkungan yang tidak hanya indah seperti Taman Eden, tetapi juga menjunjung tinggi kebenaran. 

Kita tidak boleh mudah terperangkap ke dalam narasi yang manipulatif, sekalipun narasi ilmiah. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved