Breaking News

Opini

Opini: Pemilihan Rektor Undana, Politik Primordial vs Politik Gagasan

Jika politik primordial yang kembali berkuasa, kita hanya akan mewarisi kampus yang berjalan di tempat.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
I Putu Yoga Bumi Pradana 

Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana
Dosen Pada Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana

POS-KUPANG.COM - Sejarah selalu menuntut sebuah titik balik. Bagi Universitas Nusa Cendana (Undana), titik balik itu hadir melalui pemilihan rektor periode 2025–2029. 

Kontestasi ini tidak lagi sekadar ritual administratif yang menentukan siapa yang akan duduk di kursi tertinggi kampus, melainkan medan pertarungan sunyi antara dua paradigma: politik primordial yang
selama ini membelenggu, dan politik gagasan yang menawarkan masa depan yang lebih cerah.

Undana bukan hanya universitas; ia adalah institusi yang membentuk denyut intelektual Nusa Tenggara Timur

Sejak berdiri, universitas ini telah menjadi kawah candradimuka bagi para pemikir, birokrat, dan pemimpin daerah. 

Baca juga: Rektor Undana Kupang Lepas 1.431 Lulusan, 64 Persen Wisudawan Wanita

Kini, dengan dibukanya penjaringan calon rektor yang dapat diikuti oleh dosen dari seluruh PTN dan PTS di Indonesia (Undana.ac.id, Detik.com), Undana menegaskan tekadnya untuk membuka ruang kompetisi gagasan yang inklusif. 

Ketua Panitia Pemilihan, Prof. Simon Sabon Ola, bahkan menegaskan bahwa proses ini adalah langkah untuk menemukan pemimpin terbaik, bukan sekadar yang terdekat. 

Dari sini, jelas bahwa pemilihan rektor kali ini tidak hanya akan menentukan arah Undana, tetapi juga arah pembangunan NTT.

Mendesain Masa Depan Pendidikan Tinggi NTT Melalui Politik Gagasan dan Kepemimpinan Baru

John Dewey, filsuf pendidikan progresif asal Amerika Serikat, pernah berkata: “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri.” 

Pernyataan ini menuntun kita untuk melihat Undana bukan hanya sebagai institusi pencetak gelar, melainkan sebagai motor yang menggerakkan transformasi sosial-ekonomi NTT. 

Dalam konteks ini, pemilihan rektor tidak boleh dipersempit menjadi ajang perhitungan politik internal; ia harus dilihat sebagai kesempatan untuk menanam fondasi masa depan daerah ini.

Paulo Freire, pemikir pendidikan kritis dari Brasil, dalam karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan adalah tindakan pembebasan.

Undana membutuhkan pemimpin yang berani melepaskan kampus ini dari jebakan politik identitas dan patronase. 

Pemimpin yang mampu membuka ruang dialog, memperkuat budaya akademik, dan menyalakan kembali fungsi universitas sebagai rumah bagi gagasan besar.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved