Oleh: Pascal S Bin Saju
Wartawan senior asal Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Sebelum menjelajahi Pulau Flores, simaklah komentar Pastor Gregorius Neonbasu SVD, penekun teologi ekologis, dalam wawancaranya dengan Majalah Hidup (2021).
"Flores itu seperti beril kasar yang baru ditambang dari Gunung Egon. Ia perlu dipotong dengan kearifan lokal, digosok dengan pendidikan, lalu disematkan di mahkota Nusantara sebagai zamrud yang memancar."
Pemikiran aslinya – hasil refleksi teologi ekologis berbasis kearifan Sikka – tertuang dalam buku Flores: Faith and Earth (2019, Hal. 112): "Flores ibarat permata mentah. Gunung apinya mengajarkan kerendahan hati, lautnya mengingatkan pada keabadian."
Julukan "permata mentah" itu saya alihrupa menjadi "zamrud" – batu permata hijau yang menangkap spektrum hijau Flores: rimba tropis yang bergemuruh, sabana keemasan yang memantulkan mentari, perkebunan kopi rakyat yang berkilauan, dan puncak vulkanik yang menyapa langit.
Spektrum warnanya memikat: hijau zamrud Danau Kelimutu yang mistis, hijau lumut Wae Rebo yang teduh, hijau tosca Teluk Maumere saat plankton bloom bagai lukisan impresionis.
Potensi pertanian dan perkebunan, seperti kopi, kelapa, vanili, cengkeh, kakao, yang tersebar di seluruh pulau bagai permata di mahkota, menanti sentuhan bijak untuk menjadi tulang punggung ekonomi berkelanjutan. Setiap kabupaten menawarkan keunikannya sendiri.
Frasa "sabuk biru" terilhami kearifan masyarakat Lamaholot: Tana Wai Pitu (Tujuh Wilayah Laut) – klasifikasi adat berdasarkan fishing ground (Lamaholot Seafaring Traditions, Undana, 2019).
Kenyataan pun membuktikan: Flores dikelilingi empat cekungan laut (Flores, Sawu, Sape, Ombai) dan tiga palung dalam (Lembata, Sawu, Alor), yang merajut sabuk biru seluas 420.000 km⊃2; – urat nadi kehidupan yang menghubungkan Lamalera hingga Labuan Bajo.
Petualangan Jiwa dan Mata: dari Paus Hingga Naga Purba
Menyusuri Flores adalah ziarah indrawi yang memikat. Di sini, bumi tak hanya diam; ia bernyanyi melalui gegap gempita geologi dan kesucian iman Katolik.
Mari memulai petualangan dari kampung nelayan tradisional Lamalera, Lembata – tempat manusia berdansa dengan samudra.
Lamalera adalah opera epik laut nan spektakuler. Tebing vulkanik menjulang bak benteng purba di atas lautan biru kobalt, menjadi panggung abadi bagi tradisi Baleo.
Para nelayan dengan paledang (perahu kayu) dan tombak kayu menerjang ombak, mencerminkan harmoni penuh risiko antara manusia dan titans samudra.
Pesisir berbatu karangnya memantulkan cahaya keemasan senja, menyimpan potensi whale-watching yang menghormati keseimbangan alam.