Opini

Opini: Krisis Pengawasan Legislatif

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wilhelmus Mustari Adam

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam,SE.,M.Acc
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang

POS-KUPANG.COM - Indonesia kembali dihadapkan pada realitas pahit tentang kondisi tata Kelola keuangan negara. 

Dua data penting merilis temuan yang saling menguatkan: Open Budget Survey (OBS) 2023 dari International Budget Partnership yang menunjukkan stagnansi transparansi anggaran Indonesia di skor 70, partisipasi publik yang rendah (26), dan yang paling mengkhawatirkan adalah lemahnya pengawasan legislatif dan BPK (59). 

Temuan ini dikonfirmasi oleh data publikasi BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1 BPK RI Tahun 2024 yang mengungkap 9.910 temuan dengan 16.518 total permasalahan mencapai Rp12,64 triliun serta 28.417 rekomendasi.

Kedua data ini bukan kebetulan yang terpisah, melainkan dua sisi mata uang yang sama: sistem pengawasan yang lemah telah menciptakan ruang subur bagi korupsi struktural. 

Ketika pengawasan legislatif gagal berfungsi optimal, pintu korupsi terbuka lebar, dan hasilnya adalah triliunan rupiah kerugian negara yang terungkap dalam temuan BPK.

Krisis Pengawasan: Akar dari Segala Masalah

Skor pengawasan gabungan legislatif dan BPK Indonesia dalam OBS 2023 hanya mencapai 59 dari skala 100, menunjukkan bahwa fungsi checks and balances dalam sistem anggaran nasional tidak berjalan optimal. 

Angka ini mencerminkan lemahnya kapasitas DPR, DPRD dan BPK dalam melakukan pengawasan yang efektif terhadap proses penganggaran dan implementasinya.

Pengawasan legislatif yang lemah bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah struktural yang menciptakan ruang bagi penyalahgunaan keuangan negara.

Ketika DPR tidak mampu mengawasi secara ketat, eksekutif memiliki ruang gerak berlebihan yang berpotensi disalahgunakan.

Data BPK 2024 membuktikan konsekuensi fatal dari lemahnya pengawasan legislatif. 

Dari 16.518 permasalahan senilai Rp12,64 triliun, 56,7 persen (9.364 kasus) adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dengan nilai Rp 11,09 triliun. 

Ini adalah bukti konkret bahwa ketika pengawasan lemah, pejabat merasa bebas mengabaikan aturan yang ada. Yang lebih mengkhawatirkan juga adanya kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) mencapai 42,7 persen dari total permasalahan. 

SPI yang rapuh adalah konsekuensi langsung dari tidak adanya tekanan pengawasan yang memadai dari legislatif. 

Halaman
1234

Berita Terkini