Oleh: Muhammad Aswar
POS-KUPANG.COM - Tak ada yang istimewa dari rumah Mama Soini: dindingnya separuh papan, separuh batu; atap sengnya sudah ditekan batu besar di sudut-sudutnya karena angin timur kadang dating tanpa peringatan.
Tapi di dalam rumah itu, ada satu suara yang tak pernah benar-benar hilang: suara benang disisir di alat tenun, pelan-pelan, seperti suara orang yang sedang berpikir.
Mama Soini tak pernah belajar membaca. Tapi ia bisa menebak musim hanya dari retak di tanah atau arah bayangan pohon asam di halaman.
Dan dari semua hal yang ia warisi dari ibunya—termasuk kebiasaan menjerang air dua kali sehari meski tak haus—menenun adalah satu-satunya yang ia jaga seperti menjaga rahasia.
Sejak pagi buta, saat suara ayam belum sempat bertengkar dengan bunyi motor tetangga yang baru dapat proyek dari kelurahan, Mama Soini sudah duduk di belakang rumah.
Di situlah alat tenun kayunya disandarkan di tembok, dan ia mulai menarik benang demi benang.
Kadang ia tak menenun pola, hanya garis-garis samar seperti sisa mimpi yang tak jadi pagi.
Orang-orang kota yang datang membeli tenun darinya selalu memuji motifnya sebagai “eksotis.”
Tapi bagi Mama Soini, motif-motif itu bukan untuk dipuji. Itu cerita. Cerita tentang anak lelaki yang dulu pernah berangkat ke Malaysia dan tak pernah pulang.
Tentang suara ibu yang ia hafal waktu kecil: “Kalau benangmu kusut, tarik pelan-pelan. Jangan dipaksa.”
Tentang sumur tua yang airnya tinggal sisa dan tak cukup untuk cuci kaki.
Dulu, ia tak menenun untuk dijual. Tenun adalah pakaian pesta, bekal nikah, dan juga kafan.
Tapi sekarang, ia menenun agar dapur tak diam. Ia menenun agar ia bisa beli pulsa untuk anak perempuannya yang kerja di minimarket.
Ia menenun agar suaminya tak perlu ke pasar hanya untuk membeli garam dengan utang.