Aksi pembangunan gedung dan peralatan mahal, tapi tak pernah dibarengi refleksi: apakah aksesnya setara? Apakah menolong keluarga miskin?
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk menebus dosa sosial ini? Berikut beberapa langkah praktis:
1. Reformasi komunikasi kebijakan Pendidikan
Pemda dan dinas pendidikan wajib melakukan sosialisasi langsung ke kampung-kampung tentang hak-hak pendidikan.
Bukan hanya lewat surat edaran yang hanya dibaca kepala desa. Pakai bahasa lokal, adakan posko aduan pungutan, libatkan tokoh agama agar rakyat paham.
2. Audit independen pungutan di sekolah swasta Kristen
Gereja harus berani mengundang lembaga independen memeriksa praktik biaya.
Biarkan burung langit mendengar kabar baik: bahwa sekolah Kristen betul-betul ada untuk yang lemah.
3. Kurikulum kontekstual berbasis ekologi budaya
Anak Sabu belajar manajemen garam dan paron, anak Sumba belajar tenun dan peternakan kuda, anak Lembata belajar potensi rumput laut.
Buat muatan lokal yang hidup, bukan tempelan basa-basi. Ini sekaligus strategi ekonomi mikro.
4. Beasiswa afirmatif lintas denominasi
Jangan lagi beasiswa gereja hanya untuk anak GMIT atau Katolik, tetapi buka bersama. Lintas iman, lintas suku. Bangun solidaritas Injil yang universal.
5. Literasi digital untuk membendung hoaks
Gereja, sekolah, dan komunitas adat perlu rutin mengedukasi soal cara memverifikasi kabar. Karena kalau tidak, burung di langit akan terus menyebar kabar menyesatkan, dan rakyat kecil selalu korban.
Kata-Kata Kita, Masa Depan Anak-Anak Kita
Di ujung semua ini kita mesti bertanya: Apakah kata-kata kita — dalam birokrasi, mimbar gereja, ruang guru, atau meja komite — menuntun hati anak-anak ke kanan, pada masa depan penuh keadilan?
Ataukah justru menyesatkan kaki mereka ke kiri, ke jalan gelap prasangka, biaya tak wajar, kurikulum asing, dan struktur ketidakadilan yang terus mengulang?
Burung di langit akan tetap terbang, akan terus mendengar, akan terus membawa cerita kita.
Kiranya kabar yang ia bawa kelak bukan lagi tentang pungutan ilegal, politik patronase, atau hoaks yang menindas orang miskin.
Melainkan kabar Injil — kabar tentang sekolah-sekolah yang sungguh jadi rumah bagi si lemah, kebijakan pendidikan yang menegakkan tangga sosial bagi anak petani garam, dan guru-guru yang lidahnya jujur, hatinya lurus,langkahnya ke kanan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News