Celakanya, karena lemahnya transparansi dan minimnya literasi warga, gosip ini tak jarang benar.
Kebijakan pendidikan, entah soal zonasi, pembagian seragam gratis, atau seleksi guru kontrak, sering dibumbui kompromi politik lokal. Yang terjadi adalah rakyat saling curiga, sambil diam-diam menerima takdir ketidakadilan itu sebagai hal lumrah.
Kebijakan Pendidikan yang Memperlebar Jurang
Padahal secara formal, pendidikan nasional—termasuk di NTT—disebut “gratis” pada level SD hingga SMA.
Tapi data BPS 2024 memperlihatkan di NTT, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk biaya pendidikan (termasuk seragam, transport, buku, les) adalah Rp2,6 juta per anak per tahun.
Untuk rumah tangga termiskin yang penghasilannya hanya Rp600 ribu/bulan, ini memakan hampir separuh total penghasilan setahun.
Lebih dari itu, Susenas 2024 menunjukkan 48 persen anak dari kuintil termiskin di NTT tidak tamat SMA.
Artinya, hampir separuh anak keluarga miskin tak menapaki jenjang yang seharusnya menjadi dasar mereka melompat ke strata ekonomi lebih baik. Tangga mobilitas sosial itu retak.
Kurikulum nasional pun menambah masalah. Anak-anak di Ndora (Flores), Ledeke (Sabu), atau Oeolo (Timor), yang seumur hidupnya berurusan dengan garam, jagung, dan tenun, disuruh memeras otak menghafal logaritma atau teori manajemen perusahaan multinasional.
Mereka tak pernah diberi ruang memaknai nilai ekonomi garam tradisional mereka, atau mengoptimalkan pengetahuan agraria lokal.
Kurikulum berjalan sendiri, hati anak berjalan lain. Hasilnya: alienasi. Mereka merasa bodoh, rendah diri, tidak berdaya, lalu kembali ke ladang tanpa visi memajukan hidup.
Pendidikan Kristen: Antara Panggilan Injil dan Nafsu Lembaga
Di NTT, institusi pendidikan Kristen memegang peranan besar. GMIT, Katolik, GKS, Gereja Advent, semua memiliki sekolah. Tapi berapa yang sungguh memprioritaskan si miskin?
Seringkali “program kasih” hanya menjadi retorika brosur penerimaan siswa baru, selebihnya biaya tetap melangit.
Ada pungutan seragam yang ditentukan supplier rekanan yayasan, ujian praktik seni yang menuntut kostum mahal, belum lagi “sumbangan sukarela wajib”.