Opini

Opini: Burung di Langit Mendengar, Rahasia Bocor Sendiri 

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

John Mozes Hendrik Wadu Neru

Dietrich Bonhoeffer pernah berkata: “Gereja hanya ada benar bila ada untuk orang lain, terutama bagi yang menderita.”

Maka jika sekolah Kristen hanya membanggakan spanduk bertuliskan “Unggul, Cerdas, Berkarakter” tapi pada praktiknya menolak si miskin yang tak sanggup bayar uang kegiatan, bukankah ini mengkhianati esensi Injil?

Burung di Langit Mendengar: Pendidikan Terseret Politik & Hoaks

Lalu datang lagi gosip: “Itu guru pindah karena tak setuju sama kepala sekolah. Yang itu dipakai buat proyek BOS.” 

“Kalau tak pilih caleg si anu, nanti sekolahmu tak dibantu rehab.”

Dalam masyarakat miskin yang literasi hukumnya rendah, bisik-bisik ini menjadi “teologi publik”. 

Mereka mempercayai rumor lebih daripada Perda, lebih daripada surat edaran Diknas, bahkan kadang lebih daripada khotbah pendeta. Dan tak jarang itu benar. 

Paul Farmer menyebut ini “structural violence”—kekerasan diam-diam yang tidak meneteskan darah, tetapi merampas masa depan.

Bahkan saat pemerintah meluncurkan KIP Kuliah atau Program Indonesia Pintar, kabar simpang siur kerap membuat keluarga miskin tak berani mengurus syaratnya.

Mereka takut “kena pajak”, atau “kena jerat hukum”, padahal justru program itu dirancang bagi mereka.

Refleksi Teologis : Kata-Kata yang Menyelamatkan atau Membunuh

Ayat Pengkhotbah 10:20 menasihati: jaga ucapanmu, sebab burung di udara akan memberitaharkan perkataanmu. 

Dalam terang Kristus, kita memahami ini lebih dari sekadar etika mulut. Ini soal tanggung jawab publik:

  1. Bagaimana pemimpin daerah, kepala dinas, kepala sekolah, pendeta, guru, memakai kata-katanya untuk membangun kepercayaan, bukan mempermainkan harapan rakyat.
  2. Bagaimana kebijakan pendidikan dikomunikasikan dengan transparan, sehingga tidak lahir gosip yang makin menindas orang kecil.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menulis: “Kata-kata yang tidak berlandaskan tindakan hanya omong kosong. Tapi tindakan tanpa refleksi adalah aktivisme kosong. Pendidikan sejati merangkai keduanya.”

Sayangnya di NTT, sering kita temui dua ujung ekstrem ini: Orasi politik tentang pendidikan gratis, padahal pungutan merajalela.

Halaman
1234

Berita Terkini