Oleh: John Mozes Hendrik Wadau Neru
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Sebuah ayat yang menggedor budaya kita. “Janganlah engkau mengutuk raja, baik dalam hatimu, dan janganlah engkau mengutuk orang kaya dalam kamar tidurmu; sebab burung di udara akan menyampaikan bunyi suaramu, dan yang bersayap akan memberitahukan
perkataanmu.” (Pengkhotbah 10:20).
Di Nusa Tenggara Timur ( NTT), ayat ini seakan ditulis ulang dalam bahasa sehari-hari kita:
“Jaga lidahmu, jangan terlalu keras ngomong, nanti sampai di kuping orang lain. Sebelum kau sadar, seluruh kampung sudah tahu.”
Ini bukan sekadar peringatan moral tentang gosip. Ayat ini menyingkap sebuah fenomena sosial—bahwa perkataan memiliki daya politis, daya membentuk persepsi, daya merusak atau menyembuhkan struktur masyarakat.
Dalam konteks kita, perkataan sering menjadi instrumen yang membajak tujuan luhur pendidikan, mengubahnya dari tangga mobilitas sosial menjadi alat memperkokoh ketimpangan.
Bayangkan saja bagaimana rumor, politik bisik-bisik, bahkan hoaks berkembang di sekitar kita.
Di kampung-kampung Sabu Raijua, Flores, Timor hingga Alor, kabar miring tentang sekolah tertentu, guru tertentu, atau program pemerintah tertentu lebih cepat beredar daripada informasi objektif.
Dan seringkali, politik lokal maupun birokrasi pendidikan malah sengaja memelihara kabut kata-kata ini untuk menutupi kegagalan struktural.
Sementara itu, kebijakan pendidikan — dari kurikulum yang menjauh dari tanah tempat anak berpijak, biaya yang menyesak keluarga miskin, hingga akses yang tak merata — diam-diam memperkuat jurang antara si kaya dan si miskin.
Pendidikan gagal menjadi tangga vertikal mobilitas sosial, justru jadi cermin ketimpangan yang terus memantulkan wajah getir kita.
Ketika Kata-Kata Membingkai Realitas: Antropologi Gosip & Politik Bisik-Bisik
James Scott, antropolog politik dari Yale, dalam bukunya Domination and the Arts of Resistance, menyebut masyarakat pinggiran sering mengembangkan “hidden transcripts” — obrolan informal, gosip, lelucon sinis yang diucapkan di belakang penguasa. Ini jadi saluran ekspresi frustrasi sekaligus strategi bertahan hidup.
Di NTT, kita terbiasa dengan political whispers. Misalnya ketika muncul program sekolah gratis atau beasiswa, cepat sekali terdengar desas-desus: “Ah, itu hanya untuk keluarga dekat kepala desa.”
“Jangan harap anak tukang tenun bisa dapat beasiswa, semua sudah diatur.”
Celakanya, karena lemahnya transparansi dan minimnya literasi warga, gosip ini tak jarang benar.
Kebijakan pendidikan, entah soal zonasi, pembagian seragam gratis, atau seleksi guru kontrak, sering dibumbui kompromi politik lokal. Yang terjadi adalah rakyat saling curiga, sambil diam-diam menerima takdir ketidakadilan itu sebagai hal lumrah.
Kebijakan Pendidikan yang Memperlebar Jurang
Padahal secara formal, pendidikan nasional—termasuk di NTT—disebut “gratis” pada level SD hingga SMA.
Tapi data BPS 2024 memperlihatkan di NTT, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk biaya pendidikan (termasuk seragam, transport, buku, les) adalah Rp2,6 juta per anak per tahun.
Untuk rumah tangga termiskin yang penghasilannya hanya Rp600 ribu/bulan, ini memakan hampir separuh total penghasilan setahun.
Lebih dari itu, Susenas 2024 menunjukkan 48 persen anak dari kuintil termiskin di NTT tidak tamat SMA.
Artinya, hampir separuh anak keluarga miskin tak menapaki jenjang yang seharusnya menjadi dasar mereka melompat ke strata ekonomi lebih baik. Tangga mobilitas sosial itu retak.
Kurikulum nasional pun menambah masalah. Anak-anak di Ndora (Flores), Ledeke (Sabu), atau Oeolo (Timor), yang seumur hidupnya berurusan dengan garam, jagung, dan tenun, disuruh memeras otak menghafal logaritma atau teori manajemen perusahaan multinasional.
Mereka tak pernah diberi ruang memaknai nilai ekonomi garam tradisional mereka, atau mengoptimalkan pengetahuan agraria lokal.
Kurikulum berjalan sendiri, hati anak berjalan lain. Hasilnya: alienasi. Mereka merasa bodoh, rendah diri, tidak berdaya, lalu kembali ke ladang tanpa visi memajukan hidup.
Pendidikan Kristen: Antara Panggilan Injil dan Nafsu Lembaga
Di NTT, institusi pendidikan Kristen memegang peranan besar. GMIT, Katolik, GKS, Gereja Advent, semua memiliki sekolah. Tapi berapa yang sungguh memprioritaskan si miskin?
Seringkali “program kasih” hanya menjadi retorika brosur penerimaan siswa baru, selebihnya biaya tetap melangit.
Ada pungutan seragam yang ditentukan supplier rekanan yayasan, ujian praktik seni yang menuntut kostum mahal, belum lagi “sumbangan sukarela wajib”.
Dietrich Bonhoeffer pernah berkata: “Gereja hanya ada benar bila ada untuk orang lain, terutama bagi yang menderita.”
Maka jika sekolah Kristen hanya membanggakan spanduk bertuliskan “Unggul, Cerdas, Berkarakter” tapi pada praktiknya menolak si miskin yang tak sanggup bayar uang kegiatan, bukankah ini mengkhianati esensi Injil?
Burung di Langit Mendengar: Pendidikan Terseret Politik & Hoaks
Lalu datang lagi gosip: “Itu guru pindah karena tak setuju sama kepala sekolah. Yang itu dipakai buat proyek BOS.”
“Kalau tak pilih caleg si anu, nanti sekolahmu tak dibantu rehab.”
Dalam masyarakat miskin yang literasi hukumnya rendah, bisik-bisik ini menjadi “teologi publik”.
Mereka mempercayai rumor lebih daripada Perda, lebih daripada surat edaran Diknas, bahkan kadang lebih daripada khotbah pendeta. Dan tak jarang itu benar.
Paul Farmer menyebut ini “structural violence”—kekerasan diam-diam yang tidak meneteskan darah, tetapi merampas masa depan.
Bahkan saat pemerintah meluncurkan KIP Kuliah atau Program Indonesia Pintar, kabar simpang siur kerap membuat keluarga miskin tak berani mengurus syaratnya.
Mereka takut “kena pajak”, atau “kena jerat hukum”, padahal justru program itu dirancang bagi mereka.
Refleksi Teologis : Kata-Kata yang Menyelamatkan atau Membunuh
Ayat Pengkhotbah 10:20 menasihati: jaga ucapanmu, sebab burung di udara akan memberitaharkan perkataanmu.
Dalam terang Kristus, kita memahami ini lebih dari sekadar etika mulut. Ini soal tanggung jawab publik:
- Bagaimana pemimpin daerah, kepala dinas, kepala sekolah, pendeta, guru, memakai kata-katanya untuk membangun kepercayaan, bukan mempermainkan harapan rakyat.
- Bagaimana kebijakan pendidikan dikomunikasikan dengan transparan, sehingga tidak lahir gosip yang makin menindas orang kecil.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menulis: “Kata-kata yang tidak berlandaskan tindakan hanya omong kosong. Tapi tindakan tanpa refleksi adalah aktivisme kosong. Pendidikan sejati merangkai keduanya.”
Sayangnya di NTT, sering kita temui dua ujung ekstrem ini: Orasi politik tentang pendidikan gratis, padahal pungutan merajalela.
Aksi pembangunan gedung dan peralatan mahal, tapi tak pernah dibarengi refleksi: apakah aksesnya setara? Apakah menolong keluarga miskin?
Lalu apa yang dapat dilakukan untuk menebus dosa sosial ini? Berikut beberapa langkah praktis:
1. Reformasi komunikasi kebijakan Pendidikan
Pemda dan dinas pendidikan wajib melakukan sosialisasi langsung ke kampung-kampung tentang hak-hak pendidikan.
Bukan hanya lewat surat edaran yang hanya dibaca kepala desa. Pakai bahasa lokal, adakan posko aduan pungutan, libatkan tokoh agama agar rakyat paham.
2. Audit independen pungutan di sekolah swasta Kristen
Gereja harus berani mengundang lembaga independen memeriksa praktik biaya.
Biarkan burung langit mendengar kabar baik: bahwa sekolah Kristen betul-betul ada untuk yang lemah.
3. Kurikulum kontekstual berbasis ekologi budaya
Anak Sabu belajar manajemen garam dan paron, anak Sumba belajar tenun dan peternakan kuda, anak Lembata belajar potensi rumput laut.
Buat muatan lokal yang hidup, bukan tempelan basa-basi. Ini sekaligus strategi ekonomi mikro.
4. Beasiswa afirmatif lintas denominasi
Jangan lagi beasiswa gereja hanya untuk anak GMIT atau Katolik, tetapi buka bersama. Lintas iman, lintas suku. Bangun solidaritas Injil yang universal.
5. Literasi digital untuk membendung hoaks
Gereja, sekolah, dan komunitas adat perlu rutin mengedukasi soal cara memverifikasi kabar. Karena kalau tidak, burung di langit akan terus menyebar kabar menyesatkan, dan rakyat kecil selalu korban.
Kata-Kata Kita, Masa Depan Anak-Anak Kita
Di ujung semua ini kita mesti bertanya: Apakah kata-kata kita — dalam birokrasi, mimbar gereja, ruang guru, atau meja komite — menuntun hati anak-anak ke kanan, pada masa depan penuh keadilan?
Ataukah justru menyesatkan kaki mereka ke kiri, ke jalan gelap prasangka, biaya tak wajar, kurikulum asing, dan struktur ketidakadilan yang terus mengulang?
Burung di langit akan tetap terbang, akan terus mendengar, akan terus membawa cerita kita.
Kiranya kabar yang ia bawa kelak bukan lagi tentang pungutan ilegal, politik patronase, atau hoaks yang menindas orang miskin.
Melainkan kabar Injil — kabar tentang sekolah-sekolah yang sungguh jadi rumah bagi si lemah, kebijakan pendidikan yang menegakkan tangga sosial bagi anak petani garam, dan guru-guru yang lidahnya jujur, hatinya lurus,langkahnya ke kanan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News