POS-KUPANG.COM - Hakikat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan, termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Modal terbesar dalam pembangunan adalah masyarakat atau penduduk (Dr. Adon Nasrullah Jamaludin, 2016: v).
Salah satu upaya terencana untuk mewujudkan penduduk yang tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk adalah perkembangan penduduk dan pembangunan.
Perkembangan kependudukan adalah kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan kependudukan yang dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
Krisis Pembangunan di Labuan Bajo
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ia sangat memperhatikan pembangunan. Pembangunan dalam perspektif Peter L Berger ialah untuk mensejahterakan dan membahagiakan manusia. Di Indonesia khususnya di NTT hal ini, nampak dan sangat terasa oleh masyarakat NTT.
Tetapi, masih ada beberapa pembangunan yang membuat masyarakat NTT menderita, ‘miskin’, tersingkir, mengambil secara paksa tanah masyarakat oleh pemerintah, dan tidak memperhitungkan HAM.
Baca juga: Opini Destan S Beis: Perlu Tindak Lanjut Iklim Ekstrem dan Bencana di Tahun 2022
Salah satu contoh yang penulis angkat dalam tulisan ini ialah pembangunan parawisata di Labuan Bajo- Manggarai Barat.
Pembangunan di Labuan Bajo sebagai tujuan wisata super premium artinya bahwa pemerintah mau mengembangkan pusat pembangunan baru, pusat ekonomi baru di Indonesia( Selvino Keo Bahgi, 2020). Tetapi nyatanya hanya membuat manusia melarat, miskin, menderita, dan disingkirkan.
Pertanyaannya ialah pembangunan selalu berbuntut dengan korban manusia, lalu pembangunan itu untuk siapa? Bukankah untuk manusia?
Di sini semakin jelas bahwa pembangunan yang bersifat ideologis tidak ada banyak gunanya. Sebab segala upaya pembangunan hanya akan menguntungkan segelintir orang, kaum elitis, dan para penguasa sendiri.
Sedangkan rakyat kecil hanya digunakan sebagai dalih oleh penguasa untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Misalnya di Labuan Bajo, air dari Perusahaan Air Minum (PAM) milik pemerintah lebih banyak dialirkan ke hotel-hotel besar. Air itu selain digunakan sebagai air minum, juga digunakan sebagai kolam renang dan berbagai kolam hias milik hotel.
Sementara masyarakat umum kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Bahkan mereka harus membeli air yang dijual menggunakan mobil tengki dari pengusaha-pengusaha air swasta dengan harga yang mahal. (Benny Denar, 2019: 458-459).
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pada akhirnya hanya melahirkan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya (Ibid).
Baca juga: Opini Habde Adrianus Dami: Kontroversial Sanksi Bank