KKB Papua

KKB Papua - Ungkap Penyebab Kematian Filep Karma, Adrefina Karma Minta Stop Sebar Hoaks

Penulis: Alfons Nedabang
Editor: Alfons Nedabang
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anak kedua Filep Karma, Adrefina Karma menyatakan ayahnya meninggal dunia karena tenggelam. Filep Karma merupakan salah satu tokoh Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua.

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pihak keluarga mengungkapkan penyebab kematian tokoh Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua Filep Karma.

Anak kedua Filep Karma, Adrefina Karma menyatakan ayahnya meninggal dunia karena tenggelam. Adrefina Karma mengaku mengikuti visum luar yang dilakukan dokter.

"Saya berduka, sangat sedih. Bapa sudah meninggalkan kita semua," ucap Adrefina Karma sembari menangis, dikutip dari video yang diunggah akun Twiter ULMWP NEWS @KagoyaSilas.

Adrefina Karma menjelaskan bahwa dia mengikuti visum yang dilakukan dokter terhadap mayat ayahnnya, Filep Karma.

"Saya sudah ikut dalam visum luar. Memang berdasarkan visum luar jelas bahwa bapa meninggal karena tenggelam.
Pada saat itu bapa menyelam sehingga terdampar," terangnya.

Menurut Adrefina Karma, ada saksi juga dari keluarga menyatakan bahwa ketemu dengan bapa pada hari Minggu pagi. Keduanya sempat berenang bersama-sama.

Namun Filep Karma tidak ikut pulang pada siang hari karena masih mampir di keluarga. Lantaran masih pasang surut sehingga Filep Karma menunggu sampai pagi saat air naik baru menyelam.

Baca juga: KKB Papua - Sniper Satgas Damai Cartenz Tembak 3 Orang, Terpantau dari Drone

"Kita ketemu (bapa) pada pagi hari ini. Saya ditelepon, dan saat tiba menemukan bapa meninggal dunia," ujarnya.

Adrefina Karma meminta semua pihak tidak menyebarkan hoaks mengenai penyebab kematian Filep Karma. Dia mengimbau tidak ada kekerasan.

"Saya harap semua teman-teman, kami mau yang terbaik. Tidak ada lagi isu dan hoaks beredar karena ini murni bapak kecelakaan.
Teman yang lain tidak perlu ada kekerasan," ujarnya.

Filep Karma ditemukan tewas mengenaskan di tepi Pantai base-G Distrik Jayapura Utara, Papua, Senin 1 November 2022. Pakaiannya robek tak beraturan, tubuhnya pun penuh luka.

Filep Karma merupakan salah satu aktivis dan tokoh pejuang Papua Merdeka. Saat ditemukan, tubuh Filep Karma dalam posisi terlentang.

Lelaki pemilik namal lengkap Filep Jacob Semuel Karma itu mengenakan pakaian selam yang robek tak beraturan dengan tubuh penuh luka. 

Sepak terjangnya menimbulkan kemarahan publik. Pasalnya, pada 1 Desember 2004, ia turut mengibarkan Bendera Bintang Kejora di Papua.

Baca juga: KKB Papua - Penjabat Bupati Maybrat Bantah Dihadang Kelompok Kriminal Bersenjata

Atas tindakannya tersebut, Filep Karma pun dituduh melakukan tindakan makar sehingga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Profil Filep Karma

Filep Karma lahir di Biak pada 14 Agustus 1959. Dia berasal dari keluarga terpandang di daerah bergolak, Papua.

Ayahnya, Andreas Karma menjadi Wakil Bupati Jayapura pada 1968 hingga 1971, dan menjabat Bupati Wamena pada 1970-an serta Bupati Serui pada 1980-an.

Filep Karma menamatkan sekolah menengah di Jayapura pada 1979 dan kemudian melanjutkan kuliah ilmu politik di Universitas Sebelas Maret di Surakarta, Jawa Tengah.

Dia lulus pada 1987 dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Pendidikan dan Pelatihan Jayapura.

Pada 1997, Filep Karma mendapatkan beasiswa untuk kuliah selama setahun di Asian Institute of Management, Manila, Filipina.

Memori tentang kekejaman militer Indonesia di tanah kelahirannya, ditambah pendidikan yang didapatkan, membuat Filep tergerak untuk menyuarakan kemerdekaan Papua sepulang dari Manila pada 1998.

Dalam perjuangannya menyuarakan kemerdekaan Papua, Filep Karma memilih menggunakan cara-cara damai dan tanpa kekerasan.

Dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014), Filep Karma menulis bahwa Manila telah mengubah konsep perjuangannya.

Awalnya Filep berpikir harus bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memperjuangkan cita-citanya, atau masuk ke hutan dan memanggul senjata.

"Tapi ternyata tidak harus demikian. Gerakan bersenjata memang salah satu sisi perjuangan tapi ada sisi lain juga berjuang dengan damai, tidak harus membunuh, tidak harus menembak orang," tulis Filep Karma, dikutip dari laman Kompas.com, Selasa 1 November 2022.

Filep Karma meyakini kemerdekaan Papua dapat diperjuangkan dengan damai di tengah-tengah komunitas tanpa perlu bersembunyi di dalam hutan.

Baginya, menuntut hak harus dilakukan tanpa menindas hak orang lain.

"Kitorang menuntut hak tanpa menindas hak orang lain, tapi kitorang punya kebebasan untuk menyampaikan kitorang punya pendapat dan sepantasnya itu didengar oleh pihak lain," tuturnya.

Dari Penjara ke Penjara

Pada Juli 1998, Filep Karma merancang aksi damai di Biak dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Aksi damai itu dimulai pada 4 Juli dan berakhir tragis pada 6 Juli 1998.

Human Rights Watch melaporkan, saat itu seorang sersan polisi masuk ke barisan demonstran. Karena dianggap hendak melakukan provokasi, dia dipukul dan beberapa giginya patah.

Insiden ini memicu bentrokan yang kemudian membuat tentara-tentara Indonesia menembaki demonstran.

Menurut laporan, banyak mayat dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut.

Dalam bukunya, Filep Karma mengungkapkan dugaannya bahwa ada banyak mayat yang dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak.

Hingga kini, jumlah korban jiwa dalam Peristiwa Biak Berdarah 1998 belum jelas. Filep Karma serta dua adiknya, Constan dan Sari, ditangkap dan dipenjara.

Saat aparat menyerang para demonstran pada 6 Juli 1998, kaki Filep Karma tertembak peluru karet. Ketika itu, polisi menangkap 150 orang dan hanya 19 orang yang diadili, termasuk Filep Karma. Dia ditahan di Kantor Polisi Biak dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998.

Baca juga: KKB Papua - ULMWP Berduka, Mahasiswa Pengibar Bendera Bintang Fajar Meninggal Dunia

Pada 25 Januari 1999, Pengadilan Negeri Biak menyatakan Filep bersalah atas tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato.

Pengadilan Biak menjatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun, namun Filep mengajukan banding. Dia dipenjara di Biak dan belakangan dipindah ke penjara Abepura.

Dia bebas dari penjara pada 20 November 1999 dan kembali bekerja sebagai pegawai negeri untuk Pemerintahan Provinsi Papua.

Filep kembali dipenjara setelah mengorganisasi sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004 —untuk menandakan ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 1961.

Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap otonomi khusus yang dinilai gagal.

Dia ditangkap lagi, mula-mula ditahan di kantor polisi Jayapura, kemudian diadili di pengadilan negeri Abepura.

Pada 27 Oktober 2005, Pengadilan Negeri Abepura menghukum Filep Karma dengan vonis 15 tahun penjara atas tuduhan makar.

Filep Karma bebas pada 19 November 2015, setelah menjalani masa tahanan selama 11 tahun penjara.

Dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia seusai bebas, Filep Karma menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai. Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka," kata Filep.

Dia mengatakan, untuk mewujudkan tekadnya itu ia siap untuk kembali dipenjara.

"Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis," tuturnya. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Berita Terkini