Opini

Opini: Segel dan Selempang, Dua Wajah Kekuasaan Di Hari Yang Sama

Satu pakai lakban hitam, berteriak dari atas pikap dengan soundsistem mirip ember bocor, yang satu berselempang indah berpidato.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
Yakobus Beda Kleden 

Segel dan selempang memperlihatkan dua wajah kekuasaan: Yang diprotes dan yang dirayakan. Tapi seyogyanya kekuasaan bukan untuk disegel atau diselempangkan semata. Ia harus diuji, dipertanyakan dan dijalankan keberanian untuk mendengar serta kerendahan hati untuk berubah. 

Untuk pemimpin dalam dunia pendidikan, filsuf politik Hannah Arendt dalam eseinya “The Crisis in Education” menulis “Education is the point at which we decided whether we love the world enough to assume responsibility for it.” 

Apakah kita cukup mencintai kampus kita, mengambil tanggungjawab atasnya dengan bersedia untuk berubah, menjadi jembatan antara masa lalu yang rapuh dan masa depan yang belum pasti.

 “To teach is to learn twice,” tulis Jacques Derrida. Segel dan selempang  mengingatkan agar para top manager bersedia belajar dari bawahannya. Menjadi pemimpin dalam dunia akademik adalah panggilan untuk merawat dunia, untuk menyelamatkannya dari kehancuran yang sunyi. 

Kehancuran yang terjadi bukan karena bencana, melainkan karena kelalaian kita dalam memperbarui makna hidup, keengganan kita untuk mengakui kekeliruan, dan memberi maaf. 

Manyala Bersama

Derrida dalam konsep différance menyatakan bahwa makna selalu tertunda dan tergantung konteks.  Maka segel sebagai teks sosial dan selempag sebagai narasi kekuasaan,  belum selesai ditulis. Ia masih butuh tindakan selanjutnya.  Apakah ruang rektor terbuka untuk dialog dan apakah guru besar akan membuka ruang pikir bagi publik? 

Mereka yang memiliki kekuasaan sejati membaginya, sementara mereka yang haus kekuasaan menyalahgunakannya. Segel dan selempang sebagai simbol mengingatkan kekuasaan untuk lebih sering memeriksa code of conduct-nya sebagai pemimpin. 

Ia perlu secara spesifik memperhatikan kebiasaannya satu per satu dan memperingatkan dirinya akan batasan-batasan. Disiplin dan kebiasaan baik yang telah membawanya hingga mencapai posisi sekarang justru harus semakin diperkuat  untuk memperkuat komunitas akademik, bukan untuk memperkuat posisi pribadi. 

Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan. Dan takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai. Maka manusia harus mengendalikan ketakutannya, bukan tunduk kepadanya.

Kampus harus menjadi ruang yang menyala, membakar ketakutan tapi juga menghangatkan. Tanpa itu, que serra serra sajalah. Sebab kebencian dapat berkobar dengan kebenaran yang dibuatnya sendiri. (*)


Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved