Opini

Opini: Agama Adalah Cinta Bukan Alat Pertikaian

Dalam iklim keberagaman yang semestinya menjadi kekayaan, perbedaan malah sering dijadikan celah untuk mengobarkan bara pertikaian. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI SIRILUS ARISTO MBOMBO
Sirilus Aristo Mbombo 

Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Di tengah pusaran zaman yang bergerak cepat, manusia modern dihadapkan pada gelombang kecemasan dan kehilangan arah, yang dalam istilah filosofis disebut sebagai alienasi. 

Dari Plato hingga Camus, dari tokoh-tokoh Timur hingga Barat, depresi bukan hanya dilihat sebagai masalah psikologis semata, tetapi sebagai jeritan eksistensial jiwa yang kehilangan makna.

Dalam konteks Indonesia, depresi ini tidak hanya berakar pada keresahan individu, tetapi juga mencerminkan ketegangan sosial yang lebih luas termasuk perdebatan agama yang tak kunjung padam. 

Dalam iklim keberagaman yang semestinya menjadi kekayaan, perbedaan malah sering dijadikan celah untuk mengobarkan bara pertikaian. 

Filosofi menyadarkan kita bahwa ketika manusia kehilangan kemampuannya untuk berdialog dengan hati nurani dan sesamanya, maka kekosongan eksistensial itu akan mencari pelampiasan dalam bentuk konflik dan agama, yang sejatinya suci, sering kali dijadikan kambing hitam dari kecemasan yang belum terpecahkan.

Mengapa perdebatan agama terus terjadi di Indonesia? Negara ini dibangun di atas fondasi kebinekaan, namun tampaknya luka-luka lama kolonialisme, kepentingan elite politik, serta pemahaman agama yang sempit masih menjadi batu sandungan. 

Baruch Spinoza, seorang filsuf rasionalis Belanda, dalam karyanya “Theological-Political Treatise”, dengan lantang menyuarakan pentingnya kebebasan berpikir dan beragama sebagai inti dari negara yang sehat.

Baginya, ketegangan antaragama bukan disebabkan oleh ajaran agama itu sendiri, melainkan oleh mereka yang menafsirkan agama secara otoriter untuk tujuan kekuasaan. 

Di Indonesia, perbedaan tafsir sering kali tidak diletakkan dalam bingkai dialog terbuka, tetapi dalam nada kecurigaan. 

Masalah sosial dan ekonomi yang tidak merata, ketimpangan pendidikan, serta permainan politik identitas menjadi pupuk subur bagi lahirnya intoleransi. 

Ketika satu kelompok merasa terpinggirkan atau terancam, maka keyakinan menjadi benteng terakhir identitas, dan debat agama pun menjadi wadah pelampiasan.

Agama yang sejatinya adalah jalan cinta dan keadilan, kerap dijadikan medan pertempuran makna. 

Setiap agama besar di Indonesia, dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Konghucu, pada hakikatnya mengajarkan kebaikan, kasih sayang, dan hidup berdampingan. 

Namun ketika ajaran tersebut direduksi menjadi dogma kaku tanpa kedalaman spiritual, maka semangat toleransi akan hilang dari napas umat beragama. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved